Tuesday 15 January 2013

Teori Metafisika Aristoteles

Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidiq



Sebutan metafisika sebenarnya adalah sebutan yang kebetulan. Yang mana sebutan ini bukanlah berasal dari Aritoteles melainkan dari Andronikus yang mencoba menyusun karya-karya Aristoteles mengenai filsafat pertama yang mengenai hal-hal yang bersifat gaib. Metafisika berasal dari kata meta-ta-fisika. Meta sendiri berarti sesuadah atau di belakang. Maka judul metafisika pada saat itu dipandang tepat sekali untuk dipakai guna mengungkapkan pandangan Aristoteles mengenai hal-hal yang di belakang gejala-gejala fisik.  Metafisika aristoteles berpusat pada masalah “barang” (substansi atau materi pertama) dan “bentuk”(materi kedua). Ia mengemukakan bentuk sebagai pengganti pengertian idea Plato yang ditolaknya. Bentuk ikut memberikan kenyataan pada benda. Tiap-tiap benda didunia ini adalah barang (substansi) yang berbentuk. Barang atau materi dalam pengertian Aristoteles berlainan dari pendapat materi biasa tentang materi.

Awal mula pemikiran Aristoteles tentang metafisika dimulai ketika dihadapkan pada permasalahan  Herakitos dan Paramenides mengenai masalah perubahan. “Apakah segala sesuatu itu Burubah atau Tetap?”. Menurut Heraklitos dimana saja atau segala sasuatu yang aktual itu tidak mempunyai stabilitas, ‘segala sesuatu bergerak’, dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Sedangkan menurut Paramenides menyangkal adanya kemungkinan perubahan karena pada hakikatnya yang ada itu tidak bergerak, tidak “dijadikan” dan tidak berubah. Dalam hal ini aristotees mencari sebuah penyelesaian yang lebih memuaskan dari pada yang dikemukakan Plato bahwa dalam penyelesaian akan masalah ini, Plato mengemukakan bahwa yang berubah itu memang ada dan dikenal oleh pengamatan (yang dapat diamati) sedangkan yang tidak berubah, yaitu idea-idea, dikenal oleh akal. Jadi menurut Plato, ada dua bentuk “yang ada”, yaitu bentuk yang dapat diamati (aktual), yang senantiasa berubah, dan bentuk yang tidak dapat diamati, “yang tidak berubah”. Dalam penyelesaian akan masalah diatas, Aristoteles berusaha untuk melukiskan dan menjelaskan gejala itu dan mengambil sebuah contoh konkret, yaitu patung yang terbuat dari batu marmer. Sebelum menjadi (bentuk) patung, benda ini terletak di tempat kerja si pemahat sebagai sebongkah batu marmer. Akan tetapi, tidak ujug-ujug benda itu  merupakan sebongkah batu, karena sebelumnya si batu tadi merupakan bagian dari konfigurasi batu pualam dalam tambang. Ada yang berubah pada dan dengan batu marmer itu. Namun, menjadi seperti (bentuk) apapun itu tetap saja batu marmer. Perubahan disini dapat dilihat yaitu pada “bentuk lahiriah” dari pada batu marmer itu. Batu marmer sebagaimana materi tidaklah berubah, yang berubah hanya bentuknya saja. Dalam tambang, benda itu merupakan bagian dari konfigurasi batu marmer, di tempat sebelum benda itu dijadikan patung (masih berupa bongkahan) itu adalah masih batu marmer begitupun setelah menjadi patung. Materi batu marmer itu tetaplah batu marmer, namun menurut rupa dan bentuknya batu marmer itu telah berubah.[1]
          Jadi, setiap kali terjadi perubahan, ada dua gejala : ada sesuatu yang menjadi yang lain yaitu “bentuk” dan sesuatu yang tinggal sama (tetap) yaitu “materi”, sebagai subjek perubahan. Dengan bertolak dari data-data ini, Aristoteles berusaha untuk mencari syarat-syarat yang perlu diterima untuk dapat menjelaskan benda-benda kosmis. Untuk dapat mengetahu perubahan apa saja – termasuk juga perubahan aksidental[2] - perlu kita menerima dua prinsip yaitu materi “hyle” dan bentuk “morphe”[3]. Yang kemudian lahirlah Hilemorfisme yaitu suatu pengertian dan teori yang dikemukakan Aristoteles untuk dapat menjelaskan segala kelahiran, perubahan dan kebinasaan benda-benda. Menurut Aristoteles tidak hanya terjadi perubahan aksidental saja, namun juga terjadi perubahan-perubahan substansial. Jika sebuah makhluk hidup – seekor Sapi misalnya – mati,  maka tidak terdapat lagi perubahan pada dan dengan sapi itu, tetapi sapi tidak lagi menjadi sapi, melainkan sudah menjadi sesuatu yang lain. Hal inilah yang menurutnya disebut sebagai perubahan substansial, dimana suatu perubahan yang menyangkut hakikatnya.
          Materi (barang) adalah sesuatu yang dapat mempunyai bentuk ini dan itu. Materi (barang) hanyalah kemungkinan, potensia. Bentuk adalah pelaksanaan dari kemungkinan itu, aktualita[4]. Dalam materi sebagai subyek dari perubahan, Aristoteles membedakan materi itu sendiri menjadi dua macam materi. Perbedaan Aristoteles itu antara “materi pertama” (hyle prote) dan “materi kedua” (hyle deutra). Materi kedua adalah bahan yang kelihatan seperti kertas, batu marmer, burung dll. Sedangkan materi pertama adalah bukanlah sebuah bahan yang dapat dilihat, melainkan hanya suatu prinsip dari bahan : tidak dapat dilihat, tidak berkualitas dan berkuantitas dan tidak dapat dimasukan kedalam kategori apapun[5]. Materi pertama juga bukan benda, bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun merupakan sebuah realitas. Materi ini tidak terjangkau oleh observasi langsung hanya dapat ditemukan dengan berfikir tentang gejala perubahan substansial.
Segala perubahaan merupakan hasil dari pembentukan materi. Aristoteles mengemukakan bahwa sebab yang menggerakkan (perubahan) ialah Tuhan. Seperti yang kita liat secara realitas, gerak itu ada yang menyebabkan dan sampai akhirnya kita pada sebab-gerak pertama yang imateriil, tidak bertubuh, tidak bergerak dan tidak digerakkan, serta cerdas sendirinya. Sebab gerak yang pertama itu ialah Tuhan, Nus. Nus itu disamakan pula dengan pikiran murni, pikir dari pada pikir. Tuhan yang berbentuk pikiran itu tidak memerlukan manusia, tidak memerlukan benda-benda, melainkan sebaliknya dunia tergerak padanya. Setiap hal yang bergerak digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan ada satu penggerak pertama yang menyebabkan gerak itu tetapi  Ia sendiri tidak digerakkan.
Aristoteles mengungkapkan bahwa segala perubahan itu ada 4 pokok sebab:
1.             Sebab-substansi (barang/materi pertama), yang memungkinkan terjadinya sesuatu atasnya dan dengannya. Sebagai contoh: kayu, batu, besi dll.
2.             Sebab-bentuk, yang terlaksana didalam substansi. Sebagai contoh: rumah.
3.             Sebab-gerak, sebab yang datang dari luar, yakni tukang pembuat rumah.
4.             Sebab-tujuan, yang dituju oleh perubahan dan gerak, yakni rumah yang sudah jadi.
Sebab-tujuan ini adalah suatu yang penting dalam keterangan metafisika Aristoteles tentang alam. Dimana segala yang terjadi di alam, baik pada keseluruhannya maupun pada bagian-bagiannya, dikerahkan oleh satu tujuan.[6] Jadi teleologinya memiliki 2 kategori, pertama kepercayaan agama bahwa segala yang terjadi di dunia ini adala suatu perbuatan yang terwujud oleh Tuhan, Nus yang mengatur segala-galanya. Selain itu, ia berpendapat pula, bahwa alam ini dan yang hidup didalamnya merupakan berbagai jenis organisme yang berkembang masing-masing menurut suatu gerak-tujuan, alam tidak berbuat jika tidak bertujuan.


[1] Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, (Yogyakarta : KANISIUS, 2000), hlm 41-42
[2] Adalah perubahan sesuatu (sifat) menjadi sesuatu yang lain atau suatu aksiden diganti dengan aksiden yang lain misalnya selembar kertas putih menjadi kuning
[3]hyleadalah unsur yang menjadi dasar permacam-macaman, sedangkan morpheadalah unsur kesatuan. Tiap-tiap benda yang konkrit terdiri dari hyle dan morphe, karena hyle nya maka benda itu benda itulah (bukan benda yang lain), karena morphenya mempunyai inti dan dari itu termasuk pada suatu macam dan dapat ditangkap oleh budi. Jadi hyle dan morphe saling mengisi dan ada keterkaitannya. hyle dan morphe ini merupakan satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan, tak ada hyle tanpa morfe, begitu pula sebaliknya.

[4]Potensia ialah dasar kemungkinan, sedangkan aktualita ialah dasar kesungguhannya. Barang sesuatu mungkin karena potensinya. Ia sudah ada karena aktualitanya. Dalam hal yang konkrit itu maka hyle merupakan potensia sedangkan morphe merupakan aktualita.
[5] Menurut aristoteles terdapat sepuluh “kategori” atau sepuluh cara agar sesuatu itu bisa berada. Sesuatu bisa berada sebagai substansi (hal yang berdiri sendiri), karena itu substansi adalah kategori pertama. Sembilan yang lainnya adalah aksiden, artinya tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam sesuatu yang lain. Contoh “putih” adalah kualitas ( salah satu kategori) dari substansi, misalnya seekor sapi yang putih dll.
[6] Ibid, lm. 129.

3 comments:

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme