Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidiq
Sebutan
metafisika sebenarnya adalah sebutan yang kebetulan. Yang mana sebutan ini
bukanlah berasal dari Aritoteles melainkan dari Andronikus yang mencoba
menyusun karya-karya Aristoteles mengenai filsafat pertama yang mengenai
hal-hal yang bersifat gaib. Metafisika berasal dari kata meta-ta-fisika. Meta sendiri berarti sesuadah atau di belakang.
Maka judul metafisika pada saat itu dipandang tepat sekali untuk dipakai guna
mengungkapkan pandangan Aristoteles mengenai hal-hal yang di belakang
gejala-gejala fisik. Metafisika aristoteles berpusat pada
masalah “barang” (substansi atau materi pertama) dan “bentuk”(materi kedua). Ia
mengemukakan bentuk sebagai pengganti pengertian idea Plato yang ditolaknya.
Bentuk ikut memberikan kenyataan pada benda. Tiap-tiap benda didunia ini adalah
barang (substansi) yang berbentuk. Barang atau materi dalam pengertian
Aristoteles berlainan dari pendapat materi biasa tentang materi.
Awal mula pemikiran Aristoteles tentang
metafisika dimulai ketika dihadapkan pada permasalahan Herakitos dan Paramenides mengenai masalah
perubahan. “Apakah segala sesuatu itu Burubah atau Tetap?”. Menurut Heraklitos
dimana saja atau segala sasuatu yang aktual itu tidak mempunyai stabilitas,
‘segala sesuatu bergerak’, dan tidak ada sesuatupun yang tetap. Sedangkan
menurut Paramenides menyangkal adanya kemungkinan perubahan karena pada hakikatnya
yang ada itu tidak bergerak, tidak
“dijadikan” dan tidak berubah. Dalam hal ini aristotees mencari sebuah
penyelesaian yang lebih memuaskan dari pada yang dikemukakan Plato bahwa dalam
penyelesaian akan masalah ini, Plato mengemukakan bahwa yang berubah itu memang
ada dan dikenal oleh pengamatan (yang dapat diamati) sedangkan yang tidak
berubah, yaitu idea-idea, dikenal oleh akal. Jadi menurut Plato, ada dua bentuk
“yang ada”, yaitu bentuk yang dapat diamati (aktual), yang senantiasa berubah,
dan bentuk yang tidak dapat diamati, “yang tidak berubah”. Dalam penyelesaian
akan masalah diatas, Aristoteles berusaha untuk melukiskan dan menjelaskan
gejala itu dan mengambil sebuah contoh konkret, yaitu patung yang terbuat dari
batu marmer. Sebelum menjadi (bentuk) patung, benda ini terletak di tempat
kerja si pemahat sebagai sebongkah batu marmer. Akan tetapi, tidak ujug-ujug
benda itu merupakan sebongkah batu,
karena sebelumnya si batu tadi merupakan bagian dari konfigurasi batu pualam
dalam tambang. Ada yang berubah pada dan dengan batu marmer itu. Namun, menjadi
seperti (bentuk) apapun itu tetap saja batu marmer. Perubahan disini dapat
dilihat yaitu pada “bentuk lahiriah” dari pada batu marmer itu. Batu marmer
sebagaimana materi tidaklah berubah, yang berubah hanya bentuknya saja. Dalam
tambang, benda itu merupakan bagian dari konfigurasi batu marmer, di tempat
sebelum benda itu dijadikan patung (masih berupa bongkahan) itu adalah masih
batu marmer begitupun setelah menjadi patung. Materi batu marmer itu tetaplah
batu marmer, namun menurut rupa dan bentuknya batu marmer itu telah berubah.[1]
Jadi,
setiap kali terjadi perubahan, ada dua gejala : ada sesuatu yang menjadi yang
lain yaitu “bentuk” dan sesuatu yang tinggal sama (tetap) yaitu “materi”,
sebagai subjek perubahan. Dengan bertolak dari data-data ini, Aristoteles
berusaha untuk mencari syarat-syarat yang perlu diterima untuk dapat
menjelaskan benda-benda kosmis. Untuk dapat mengetahu perubahan apa saja – termasuk
juga perubahan aksidental[2]
- perlu kita menerima dua prinsip yaitu materi “hyle” dan bentuk “morphe”[3].
Yang kemudian lahirlah Hilemorfisme
yaitu suatu pengertian dan teori yang dikemukakan Aristoteles untuk dapat
menjelaskan segala kelahiran, perubahan dan kebinasaan benda-benda. Menurut
Aristoteles tidak hanya terjadi perubahan aksidental saja, namun juga terjadi
perubahan-perubahan substansial. Jika sebuah makhluk hidup – seekor Sapi
misalnya – mati, maka tidak terdapat
lagi perubahan pada dan dengan sapi itu, tetapi sapi tidak lagi menjadi sapi,
melainkan sudah menjadi sesuatu yang lain. Hal inilah yang menurutnya disebut
sebagai perubahan substansial, dimana suatu perubahan yang menyangkut
hakikatnya.
Materi
(barang) adalah sesuatu yang dapat mempunyai bentuk ini dan itu. Materi
(barang) hanyalah kemungkinan, potensia. Bentuk
adalah pelaksanaan dari kemungkinan itu, aktualita[4].
Dalam materi sebagai subyek dari perubahan, Aristoteles membedakan materi itu
sendiri menjadi dua macam materi. Perbedaan Aristoteles itu antara “materi
pertama” (hyle prote) dan “materi
kedua” (hyle deutra). Materi kedua
adalah bahan yang kelihatan seperti kertas, batu marmer, burung dll. Sedangkan
materi pertama adalah bukanlah sebuah bahan yang dapat dilihat, melainkan hanya
suatu prinsip dari bahan : tidak
dapat dilihat, tidak berkualitas dan berkuantitas dan tidak dapat dimasukan
kedalam kategori apapun[5].
Materi pertama juga bukan benda, bukan sesuatu yang berdiri sendiri, namun
merupakan sebuah realitas. Materi ini tidak terjangkau oleh observasi langsung
hanya dapat ditemukan dengan berfikir tentang gejala perubahan substansial.
Segala
perubahaan merupakan hasil dari pembentukan materi. Aristoteles mengemukakan
bahwa sebab yang menggerakkan (perubahan) ialah Tuhan. Seperti yang kita liat
secara realitas, gerak itu ada yang menyebabkan dan sampai akhirnya kita pada
sebab-gerak pertama yang imateriil, tidak bertubuh, tidak bergerak dan tidak
digerakkan, serta cerdas sendirinya. Sebab gerak yang pertama itu ialah Tuhan,
Nus. Nus itu disamakan pula dengan pikiran murni, pikir dari pada pikir. Tuhan
yang berbentuk pikiran itu tidak memerlukan manusia, tidak memerlukan
benda-benda, melainkan sebaliknya dunia tergerak padanya. Setiap hal yang
bergerak digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan ada satu penggerak pertama yang
menyebabkan gerak itu tetapi Ia sendiri
tidak digerakkan.
Aristoteles
mengungkapkan bahwa segala perubahan itu ada 4 pokok sebab:
1.
Sebab-substansi
(barang/materi pertama), yang memungkinkan terjadinya sesuatu atasnya dan
dengannya. Sebagai contoh: kayu, batu, besi dll.
2.
Sebab-bentuk,
yang terlaksana didalam substansi. Sebagai contoh: rumah.
3.
Sebab-gerak,
sebab yang datang dari luar, yakni tukang pembuat rumah.
4.
Sebab-tujuan,
yang dituju oleh perubahan dan gerak, yakni rumah yang sudah jadi.
Sebab-tujuan ini adalah suatu yang
penting dalam keterangan metafisika Aristoteles tentang alam. Dimana segala
yang terjadi di alam, baik pada keseluruhannya maupun pada bagian-bagiannya,
dikerahkan oleh satu tujuan.[6]
Jadi teleologinya memiliki 2 kategori, pertama kepercayaan agama bahwa segala
yang terjadi di dunia ini adala suatu perbuatan yang terwujud oleh Tuhan, Nus
yang mengatur segala-galanya. Selain itu, ia berpendapat pula, bahwa alam ini
dan yang hidup didalamnya merupakan berbagai jenis organisme yang berkembang
masing-masing menurut suatu gerak-tujuan, alam tidak berbuat jika tidak
bertujuan.
[1] Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf
Besar tentang Manusia, (Yogyakarta : KANISIUS, 2000), hlm 41-42
[2] Adalah perubahan sesuatu (sifat) menjadi sesuatu yang lain atau suatu
aksiden diganti dengan aksiden yang lain misalnya selembar kertas putih menjadi
kuning
[3]hyleadalah
unsur yang menjadi dasar permacam-macaman, sedangkan morpheadalah unsur kesatuan. Tiap-tiap benda yang konkrit terdiri
dari hyle dan morphe, karena hyle nya
maka benda itu benda itulah (bukan benda yang lain), karena morphenya mempunyai inti dan dari itu
termasuk pada suatu macam dan dapat ditangkap oleh budi. Jadi hyle dan morphe saling mengisi dan ada keterkaitannya. hyle dan morphe ini
merupakan satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan, tak ada hyle tanpa morfe, begitu pula sebaliknya.
[4]Potensia ialah dasar kemungkinan, sedangkan aktualita
ialah dasar kesungguhannya. Barang sesuatu mungkin karena potensinya. Ia sudah
ada karena aktualitanya. Dalam hal
yang konkrit itu maka hyle merupakan
potensia sedangkan morphe merupakan aktualita.
[5] Menurut aristoteles terdapat sepuluh “kategori” atau sepuluh cara agar
sesuatu itu bisa berada. Sesuatu bisa berada sebagai substansi (hal yang
berdiri sendiri), karena itu substansi adalah kategori pertama. Sembilan yang
lainnya adalah aksiden, artinya tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam
sesuatu yang lain. Contoh “putih” adalah kualitas ( salah satu kategori) dari
substansi, misalnya seekor sapi yang putih dll.
[6] Ibid, lm. 129.
Obat Tradisional Urat Syaraf Kejepit paling Ampuh
ReplyDeleteApakah Hipertiroid Bisa Sembuh Total
Obat Tradisional Meningkatkan Kekebalan Tubuh Anak
Cara Ampuh Mengatasi Ejakulasi Dini
Obat Pelangsing Badan Herbal Alami
Obat Pelangsing Tradisional Tanpa Efek Samping
Eye Care Softgel Harga
Obat Diet Alami Tanpa Efek Samping
Pengobatan Batu Ginjal Tanpa Operasi
Agen Green World Mamuju Sulawesi Barat
Green World Cordyceps Plus Capsule
Green World Slimming Capsule
Obat Penurun Berat Badan Alami
Obat Pelangsing Badan Herbal Alami GWSC
Obat Tradisional Jantung Bocor paling Ampuh
Cara Mengatasi Penyakit Anemia Secara Alami
ReplyDeleteCara Menghilangkan Gatal Di Selangkangan Dengan Cepat
Obat Herbal Calcium Softgel Green World
عزل اسطح
ReplyDeleteعزل الاسطح