Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidik
Gerak” telah banyak diperbincangkan baik dalam
fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah sebuah
fenomena alami sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan metafisika “gerak”
adalah sebuah bentuk eksistensi, dari sini dapat dikatakan: pembahasan gerak,
pada era ini merupakan salah satu titik temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan pembahasan bab gerak ini
dalam masalah natural.[1]
dan juga dalam maslaah theology dengan makna umumdan khusus. Dengan
kesemuanya ini haruslah dicermati adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi
gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya
dengan sesamanya dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun
sebaliknya, karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan
–terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang-. Immuniti
dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika
dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai
metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan ... para
pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang
cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat yang satu ini. Warna dari
pembicaraan kita dalam tulisan ini lebih merupakan warna filosofi dari pada
eksperimen (ilmiah). Titik perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak
awal (prime mover) Aristoteles.[2]
A. Teori Penggerak Awal Aristoteles.
Menurut
pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab, khususnya untuk
menemukan sebab gerak, maka kita harus berhenti pada
suatu tempat, dan pada selain keadaan ini tidak akan ada penyebab dari
sesuatupun yang bisa ditemukan secara pasti. Hanya harus dilihat di manakah
kita harus berhenti. Jawaban untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui
tafakkur dan kontemplasi tentang gerak.
Apabila
sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui gerak lainnya, maka
keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak kedua akan kita dapatkan melalui
gerak ketiga dan gerak ketiga melalui gerak keempat dan demikian seterusnya
hingga rangkaian ini akan berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin
mendapatkan alasan yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak,
bukan pada pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah
penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada
sebuah “penggerak yang berhenti”.[1]
Akan
tetapi kita mengenal sebuah keadaan dimana dalam keadaan tersebut, gerak secara
inderawi dilahirkan melalui proses sebuah “penggerak yang berhenti”
dan penggerak tersebut adalah cinta yang muncul melalui sebuah
kecantikan. Seseorang yang telah menjadi pecinta akan terseret ke arah yang
dicinta, hal ini disebabkan yang dicintai itu telah menarik
perhatian pecinta ke arahnya, akan tetapi obyek yang dicintai bukan
hanya untuk menggerakkan pecintanya saja sehingga dia tidak memberikan
gerakan pada dirinya, melainkan terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun
tidak sadar dengan kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut
perkiraan Aristoteles telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang
telah membuat dunia bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka
harus terdapat pula penggerak yang berhenti yang menjadi tempat
kebergantungan semuanya dan penggerak tersebut adalah Tuhan
Kedua
uraian di atas –sebagaimana yang telah
diperhatikan- secara eksternal saling berbeda antara satu dengan
lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai pecinta,
akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan sebagai yang
dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan pembahasan, saya
akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba melakukan analisa dan
evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua uraian.
Syeikh
Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat
Shifa” mengetengahkan pembahasan tentang penggerak awal yang dia namakan
sebagai sesuatu yang dicintai , kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama
dan penggerak pertama dan universal.
Para
ahli sejarah Filsafat dalam menukilkan dan menginterpretasikan pendapat
Aristoteles tentang penggerak awal kira-kira sepakat pada point berikut
bahwa dia (Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan
power mekanik. Menurut Will Durant dalam
salah satu tulisannya dikatakan:
Aristoteles
berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan apabila kita tidak ingin
memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang melelahkan yang membawa masalah
kembali ke belakang selangkah demi selangkah tanpa akhir, maka kita harus
menerima adanya sebuah penggerak awal yang tak digerakkan (primum mobile
immontum) atau penggerak hakiki sebagai sebuah prinsip yang
tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan penggerak alam, dia memut ar alam
tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik, melainkan sebagai sebuah illatul
illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam.
“Tuhan memutar dunia ini sehingga yang dicintai menjadi pecinta.[2]
Aristoteles
sepakat bahwa kinetik sebagai sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan,
hal ini dikarenakan “kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan
telah diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata: Tuhan sebagai prinsip
eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus merupakan sebuah
kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang tak digerakkan
...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak hakiki yang
merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan sebab akhir menjadi
kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan bisa dilahirkan.[3]
Kalimat-kalimat
yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles
dalam sifat “Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal.
Menurut pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri adalah
abadi dan tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah
“Superior”. Setiap gerak dan setiap perpindahan dari potensi ke aktual
meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual), akan tetapi apabila
setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah sebab penggerak aktual, maka
dunia secara universal akan meniscayakan adanya sebuah “penggerak awal”,
akan tetapi penting untuk memperhatikan poin berikut bahwa kata “awal”
tidak boleh difahami sebagai pengertian temporal, karena menurut pendapat
Aristoteles secara urgensi gerak itu abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal”
difahami saja sebagai “’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal
sebagai prinsip eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal.
Menurut pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti
dia akan merupakan sebab gerak –dan dengan istilah lain, dia mengemudikan alam-
dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan yaitu reaksi
dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya, oleh karena itu dia
harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku melalui keinginan itu
sendiri
Arsitoteles
dalam kitab “Metafisika” menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan
aktual murni yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.Tentang Tuhan
terkadang dia menganggapnya sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan
terkadang pula dia menggunakan kata Tuhan itu sendiri.[4]
B. Penggerak Yang Tak Digerakan (Penggerak
Hakiki)
Gerak, meniscayakan potensi dan kapabilitas dan keduanya ini
bersumber dari maddah(barang), oleh karena itu pada tempat dimana ada
gerak, berarti ada maddah di sana, dan pada tempat dimana tidak ada
gerak berarti tidak ada maddah pula. Aristoteles sepakat: karena tujuan
setiap benda di alam ini adalah untuk mencapai keadaan bentuk murni,
dengan demikian harus terdapat sebuah eksistensi aktual yang merupakan akhir
dari setiap perubahan atau gerak. Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak
tak digerakkan”, meskipun dia tidak menerima sedikitpun kemungkinan
terjadinya perubahan dan transformasi –karena dia sama sekali tidak tergolong
dalam materi sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun–
sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta ... dengan
demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah
sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa akhir”.[5]
Harus diperhatikan bahwa dalam metode “Metafisika” nya Aristoteles,
penggerak tak digerakkan sama sekali tidak akan pernah turun dari sifat
dan posisi ini, karena eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan
pernah sampai pada tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu
senantiasa dalam usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai
pada tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak
dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.
C. Premis teori gerak dan
perbedaannya dengan teori-teori lainnya
Untuk lebih menjelaskan adanya
kelebihan teori gerak atas teori-teori lainnya seperti teori keteraturan, teori
huduts, wujub-imkan, dan teori sebab-akibat, hal ini mengharuskan
kami untuk lebih cermat dan lebih jeli dalam menanggapi premis-premis teori ini
serta prinsip middle term-nya. Allamah Syahid Muthahari (ra) menuliskan Teori
penggerak awal terdiri dari lima prinsip pokok:
1. Gerak, membutuhkan penggerak,
2. Penggerak
dan gerak keduanya adalah bersamaan secara temporal, yaitu mustahil terjadi
pemisahan waktu di antara keduanya,
3. Setiap penggerak, mungkin digerakkan dan
mungkin konstan,
4. Setiap eksistensi jasmani akan berubah dan
digerakkan,
5. Gradasi interkoneksi (tasalsul) tanpa batas
adalah mustahil.
Ayatullah
Taqi Misbah Yazdy dalam uraiannya atas kitabnya allamah Thabathbai Nihayatul
Hikmah mengungkapkan empat premis untuk teori gerak, sebagai berikut:
Argumen gerak bersandar pada empat asas :obyek gerak membutuhkan
penggerak, penggerak harus berakhir pada sesuatu yang tidak bergerak, sesuatu
yang non materi bukanlah obyek gerak, mata rantai sesuatu non materi harus
berakhir pada wajib al wujud.
Harus diketahui bahwa gerak adalah
semacam bentuk perubahan dan tidak setara dengan perubahan mutlak. Gerak
merupakan perubahan bertahap, dan dalam teori gerak perubahan tidak
diperhatikan dari sisi kejadiannya, karena dalam keadaan ini berarti, pertama:
tidak akan ada perbedaan antara perubahan seketika dengan perubahan bertahap
(gerak), kedua: teori gerak pasti akan kembali kepada teori hudust (dari tiada
menjadi ada). Demikian juga harus dicermati bahwa penegasan dalam teori gerak
ini tidak diletakkan pada keharmonisan dan keteraturan gerak langit dan seluruh
gerakan lainnya, karena dalam keadaan ini teori gerak akan kembali pada teori
keteraturan.
Dan juga harus diperhatikan bahwa yang
menjadi point pembahasan gerak dalam teori ini bukanlah dari sisi
kemungkinannya dan kebutuhannya terhadap wajib, karena hal ini akan berarti
tidak ada perbedaan antara perubahan bertahap (gerak) dengan perubahan
seketika, karena keduanya merupakan wujud-wujud possibel yang membutuhkan
wajib.
Dalam teori gerak, prinsip keberadaan gerak
di alam natural adalah jelas dan nyata. Apabila seseorang mengingkari
prinsip ini-sebagaimana yang dilakukan oleh filosof Paramandise dkk- maka
hal tersebut akan membuat torehan pada teori ini, akan tetapi
pengingkaran semacam ini untuk teori-teori seperti teori keteraturan, hudust,
imkan-wujub, sebab-akibat, tidak akan memberikan goresan apapun. Oleh karena
itu untuk memisahkan teori gerak dari teori-teori lainnya, harus kita
perhatikan bahwa dalam teori ini middle termnya adalah “perjalanan benda secara
bertahap dari potensi ke aktual”, dan bukan sesuatu yang lain[14], dan gerak baik sebagai persepsi
mandiri atas asumsi penggerak ataupun sebagai gerak yang posisinya terletak
dibawah persepsi mumkin atau akibat, merupakan sebuah persepsi filosofi, oleh
karena itu midle term teori gerak ini adalah middle term yang filosofi, dan
oleh karena itu teori gerak tidak bisa hanya dinamakan sebagai teori alami atau
bertahap. Bukanlah Aristoteles dalam definisi geraknya mengatakan:
Gerak
merupakan kesempurnaan pertama untuk sesuatu yang potensi, dari sisi
kepotensiannya”
Tanpa
ragu lagi perspesi seperti kesempurnaan, pertama dan potensi merupakan persepsi
filosofis dan bukan persepsi dari kelompok ilmu alam, oleh karena itu perlu
ditinjau kembali apabila kita mengatakan: “Aristoteles membahas teori ini dalam
kapasitasnya sebagai seorang ahli ilmu alam bukan dari kapasitasnya sebagai
seorang filsosof ilahi” tentu saja tidak ragu lagi bahwa gerak merupakan
fenomena alami akan tetapi pembahasan hukum-hukum gerak merupakan pembahasan
rasional dan filosofi. (diperhatikan).Ayatullah Jawadi Amuli, pada pasal kedua
dari makalah “teori gerak” –nya menuliskan:
“Pembahasan
dalam eksistensi gerak, merupakan partikulasi dari filsafat ilahi yang membahas
mulai dari prinsip eksistensi hingga terlahirnya benda, .... akan tetapi
pembahasan gerak dalam ilmu alam menjelaskan gerak sebagai sebuah fenomena
khusus pada substansi tertentu, yaitu gerak pada ilmu alam membahas tentang
apakah fulan substansi mempunyai kepadatan gerak ataukah tidak, bagaimanakah
cara dia bergerak serta apa tujuannya, akan tetapi tidak membahas fenomena lain
–yang tidak berada dalam lingkup pembahasannya-. Dan secara global pembahasan
tentang apakah gerak ada di alam semesta ini ataukah tidak, dengan
mengesampingkan substansi-substansi tertentu, berada di luar
institusi ilmu alam melainkan berada dalam batasan pembahasan murni filosofi,
..... dan karena pembahasan kita sekarang adalah tentang wujud gerak sebagai
sebuah pembahasan filosofi murni, maka hal ini harus dilakukan dengan
memanfaatkan metode-metode khusus itu sendiri yang dalam filsafat ilahi
dipergunakan untuk membuktikan eksistensi benda, lalu meletakkan inovasi ilmu
alam sebagai saksi dan penegas, karena inderawi maupun deduksi tak satupun ada
yang mampu membuktikan hakekat gerak dengan makna mendalam sebagaimana yang
telah ditafsirkan, dan menjelaskan kemunculannya obyek luar.
Ringkasnya
tidak satupun dari kesinambungan, tahapan, perjalanan dari potensi,
lepasnya dari potensi dan sampainya pada aktual dan kesempurnaan wujud, tidak
akan terindera oleh salah satupun dari panca indera dan ilmu yang
perangkatnya adalah indera dan deduktif, tidak akan mempunyai kemampuuan untuk
membuktikan hal-hal yang non inderawi dan diapun tidak mempunyai hak untuk
mengingkarinya”.
Mulla Sadra (ra) sendiri dalam kitab Asfar-nya pun mengatakan bahwa gerak
dan diam merupakan sebuah masalah yang tidak bisa difahami dengan indera,
melainkan indera hanyalah sebagai penentu dan sahabat akal dalam memahami
mereka.
Saksi
lain yang menyatakan bahwa teori gerak merupakan sebuah teori filsafat murni
dan bukannya sebuah teori eksperimen adalah bahwa “gerak” sama sekali tidak
bisa dikatagorikan atau istilahnya tidak termasuk dalam kelompok mahiyat
(esensi) dan akal pertama, melainkan termasuk ke dalam akal kedua filsafat dan
oleh karena itu pembahasan yang berkaitan dengan masalah tersebut berada dalam
institusi hikmah ilahi.
[1] Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf
Besar tentang Manusia, (Yogyakarta : KANISIUS, 2000), hlm 50
[2] .
Will Durant, “Sejarah Filsafat”, hal. 70
[4]
Frederick Copeleston, “Tarikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin
Mujtabawy, J. 1, hal. 423-424.
Obat Tradisional Urat Syaraf Kejepit paling Ampuh
ReplyDeleteApakah Hipertiroid Bisa Sembuh Total
Obat Tradisional Meningkatkan Kekebalan Tubuh Anak
Cara Ampuh Mengatasi Ejakulasi Dini
Obat Pelangsing Badan Herbal Alami
Obat Pelangsing Tradisional Tanpa Efek Samping
Eye Care Softgel Harga
Obat Diet Alami Tanpa Efek Samping
Pengobatan Batu Ginjal Tanpa Operasi
Agen Green World Mamuju Sulawesi Barat
Green World Cordyceps Plus Capsule
Green World Slimming Capsule
Obat Penurun Berat Badan Alami
Obat Pelangsing Badan Herbal Alami GWSC
Obat Tradisional Jantung Bocor paling Ampuh