Tuesday 15 January 2013

Argumentasi Gerak, dari Aristoteles Hingga ke Para Filusuf Muslim

Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidik



Gerak” telah banyak diperbincangkan baik dalam fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah sebuah fenomena alami sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan metafisika “gerak” adalah sebuah bentuk eksistensi, dari sini dapat dikatakan: pembahasan gerak, pada era ini merupakan salah satu titik temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan pembahasan bab gerak ini dalam masalah natural.[1] dan juga dalam maslaah theology dengan makna umumdan khusus. Dengan kesemuanya ini haruslah dicermati adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya dengan sesamanya dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun sebaliknya, karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan –terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang-. Immuniti dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan ... para pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat yang satu ini. Warna dari pembicaraan kita dalam tulisan ini lebih merupakan warna filosofi dari pada eksperimen (ilmiah). Titik perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak awal (prime mover) Aristoteles.[2]


A.        Teori Penggerak Awal Aristoteles.
Menurut pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab,  khususnya untuk menemukan sebab gerak, maka kita harus berhenti  pada suatu tempat, dan pada selain keadaan ini tidak akan ada penyebab dari sesuatupun yang bisa ditemukan secara pasti. Hanya harus dilihat di manakah kita  harus berhenti. Jawaban untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui tafakkur dan kontemplasi tentang gerak.
Apabila sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui gerak lainnya, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak kedua akan kita dapatkan melalui gerak ketiga dan gerak ketiga melalui gerak keempat dan demikian seterusnya hingga rangkaian ini akan berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin mendapatkan alasan yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak, bukan pada pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada sebuah “penggerak yang berhenti”.[1]
Akan tetapi kita mengenal sebuah keadaan dimana dalam keadaan tersebut, gerak secara inderawi dilahirkan melalui proses sebuah “penggerak yang berhenti” dan penggerak tersebut adalah cinta yang muncul melalui sebuah kecantikan. Seseorang yang telah menjadi pecinta akan terseret ke arah yang dicinta, hal ini disebabkan yang dicintai itu telah menarik perhatian pecinta ke arahnya, akan tetapi obyek yang dicintai bukan hanya untuk menggerakkan pecintanya saja sehingga dia tidak memberikan gerakan pada dirinya, melainkan terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun tidak sadar dengan  kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut perkiraan Aristoteles telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang telah membuat  dunia bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka harus terdapat pula penggerak yang berhenti yang menjadi tempat  kebergantungan semuanya dan penggerak tersebut adalah Tuhan
Kedua uraian di atas –sebagaimana yang telah  diperhatikan- secara eksternal saling berbeda antara satu dengan lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai pecinta, akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan sebagai yang dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan pembahasan, saya akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba melakukan analisa dan evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua uraian.
Syeikh Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat Shifa” mengetengahkan pembahasan tentang penggerak awal yang dia namakan sebagai sesuatu yang dicintai , kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama dan penggerak pertama dan universal.
Para ahli sejarah Filsafat dalam menukilkan dan menginterpretasikan pendapat Aristoteles tentang penggerak awal kira-kira sepakat pada point berikut bahwa dia (Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan power mekanik.  Menurut Will Durant dalam salah satu tulisannya dikatakan:
Aristoteles berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan apabila kita tidak ingin memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang melelahkan yang membawa masalah kembali ke belakang selangkah demi selangkah tanpa akhir, maka kita harus menerima adanya sebuah penggerak awal yang tak digerakkan (primum mobile immontum) atau penggerak hakiki sebagai sebuah prinsip yang tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan penggerak alam, dia memut ar alam tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik, melainkan sebagai sebuah illatul illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam. “Tuhan memutar dunia ini sehingga yang dicintai menjadi pecinta.[2]
Aristoteles sepakat bahwa kinetik sebagai sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan, hal ini dikarenakan “kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan telah diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata: Tuhan sebagai prinsip eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus merupakan sebuah kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang tak digerakkan ...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak hakiki yang merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan sebab akhir menjadi kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan bisa dilahirkan.[3]
Kalimat-kalimat yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles dalam sifat “Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal. Menurut pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri  adalah abadi dan tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah “Superior”. Setiap gerak dan setiap perpindahan dari potensi ke aktual meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual), akan tetapi apabila setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah sebab penggerak aktual, maka dunia secara universal akan meniscayakan adanya sebuah “penggerak awal”, akan tetapi penting untuk memperhatikan poin berikut bahwa kata “awal” tidak boleh difahami sebagai pengertian temporal, karena menurut pendapat Aristoteles secara urgensi gerak itu abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal” difahami saja sebagai “’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal sebagai prinsip eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal. Menurut pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti dia akan merupakan sebab gerak –dan dengan istilah lain, dia mengemudikan alam- dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan yaitu reaksi dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya, oleh karena itu dia harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku melalui keinginan itu sendiri
Arsitoteles dalam kitab “Metafisika” menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan aktual murni yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.Tentang Tuhan terkadang dia menganggapnya sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan terkadang pula dia menggunakan kata Tuhan itu sendiri.[4]
B.        Penggerak Yang Tak Digerakan (Penggerak Hakiki)
Gerak,  meniscayakan potensi dan kapabilitas dan keduanya ini bersumber dari maddah(barang), oleh karena itu pada tempat dimana ada gerak, berarti ada maddah di sana, dan pada tempat dimana tidak ada gerak berarti tidak ada maddah pula. Aristoteles sepakat: karena tujuan setiap benda di alam ini adalah untuk mencapai keadaan bentuk murni, dengan demikian harus terdapat sebuah eksistensi aktual yang merupakan akhir dari setiap perubahan atau gerak. Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak tak digerakkan”, meskipun dia tidak menerima  sedikitpun kemungkinan terjadinya perubahan dan transformasi –karena dia sama sekali tidak tergolong dalam materi sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun– sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta ... dengan demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa akhir”.[5]
Harus diperhatikan bahwa dalam metode “Metafisika” nya Aristoteles, penggerak tak digerakkan sama sekali tidak akan pernah turun dari sifat dan posisi ini, karena eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan pernah sampai pada tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu senantiasa dalam usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai pada tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.
C.        Premis teori gerak dan perbedaannya dengan teori-teori lainnya
            Untuk lebih menjelaskan adanya kelebihan teori gerak atas teori-teori lainnya seperti teori keteraturan, teori huduts, wujub-imkan, dan teori sebab-akibat,  hal ini mengharuskan kami untuk lebih cermat dan lebih jeli dalam menanggapi premis-premis teori ini serta prinsip middle term-nya. Allamah Syahid Muthahari (ra) menuliskan Teori penggerak awal terdiri dari lima prinsip pokok:
1.   Gerak, membutuhkan penggerak,
2.   Penggerak dan gerak keduanya adalah bersamaan secara temporal, yaitu mustahil terjadi pemisahan waktu di antara keduanya,
3.   Setiap penggerak, mungkin digerakkan dan mungkin konstan,
4.   Setiap eksistensi jasmani akan berubah dan digerakkan,
5.   Gradasi interkoneksi (tasalsul) tanpa batas adalah mustahil.
Ayatullah Taqi Misbah Yazdy dalam uraiannya atas kitabnya allamah Thabathbai Nihayatul Hikmah mengungkapkan empat premis untuk teori gerak, sebagai berikut:
          Argumen gerak bersandar pada empat asas :obyek gerak membutuhkan penggerak, penggerak harus berakhir pada sesuatu yang tidak bergerak, sesuatu yang non materi bukanlah obyek gerak, mata rantai sesuatu non materi harus berakhir pada wajib al wujud.
            Harus diketahui bahwa gerak adalah semacam bentuk perubahan dan tidak setara dengan perubahan mutlak. Gerak merupakan perubahan bertahap, dan dalam teori gerak perubahan tidak diperhatikan dari sisi kejadiannya, karena dalam keadaan ini berarti, pertama: tidak akan ada perbedaan antara perubahan seketika dengan perubahan bertahap (gerak), kedua: teori gerak pasti akan kembali kepada teori hudust (dari tiada menjadi ada). Demikian juga harus dicermati bahwa penegasan dalam teori gerak ini tidak diletakkan pada keharmonisan dan keteraturan gerak langit dan seluruh gerakan lainnya, karena dalam keadaan ini teori gerak akan kembali pada teori keteraturan.
            Dan juga harus diperhatikan bahwa yang menjadi point pembahasan gerak dalam teori ini bukanlah dari sisi kemungkinannya dan kebutuhannya terhadap wajib, karena hal ini akan berarti tidak ada perbedaan antara perubahan bertahap (gerak) dengan perubahan seketika, karena keduanya merupakan wujud-wujud possibel yang membutuhkan wajib.
            Dalam teori gerak, prinsip keberadaan gerak di alam natural adalah jelas dan nyata. Apabila seseorang mengingkari  prinsip ini-sebagaimana yang dilakukan oleh filosof  Paramandise dkk- maka hal tersebut akan membuat torehan pada teori ini, akan tetapi pengingkaran semacam ini untuk teori-teori seperti teori keteraturan, hudust, imkan-wujub, sebab-akibat, tidak akan memberikan goresan apapun. Oleh karena itu untuk memisahkan teori gerak dari teori-teori lainnya, harus kita perhatikan bahwa dalam teori ini middle termnya adalah “perjalanan benda secara bertahap dari potensi ke aktual”, dan bukan sesuatu yang lain[14], dan gerak baik sebagai persepsi mandiri atas asumsi penggerak ataupun sebagai gerak yang posisinya terletak dibawah persepsi mumkin atau akibat, merupakan sebuah persepsi filosofi, oleh karena itu midle term teori gerak ini adalah middle term yang filosofi, dan oleh karena itu teori gerak tidak bisa hanya dinamakan sebagai teori alami atau bertahap. Bukanlah Aristoteles dalam definisi geraknya  mengatakan:
Gerak merupakan kesempurnaan pertama untuk sesuatu yang potensi, dari sisi kepotensiannya”
Tanpa ragu lagi perspesi seperti kesempurnaan, pertama dan potensi merupakan persepsi filosofis dan bukan persepsi dari kelompok ilmu alam, oleh karena itu perlu ditinjau kembali apabila kita mengatakan: “Aristoteles membahas teori ini dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli ilmu alam bukan dari kapasitasnya sebagai seorang filsosof ilahi” tentu saja tidak ragu lagi bahwa gerak merupakan fenomena alami akan tetapi pembahasan hukum-hukum gerak merupakan pembahasan rasional dan filosofi. (diperhatikan).Ayatullah Jawadi Amuli, pada pasal kedua dari makalah “teori gerak” –nya menuliskan:
“Pembahasan dalam eksistensi gerak, merupakan partikulasi dari filsafat ilahi yang membahas mulai dari prinsip eksistensi hingga terlahirnya benda, .... akan tetapi pembahasan gerak dalam ilmu alam menjelaskan gerak sebagai sebuah fenomena khusus pada substansi tertentu, yaitu gerak pada ilmu alam membahas tentang apakah fulan substansi mempunyai kepadatan gerak ataukah tidak, bagaimanakah cara dia bergerak serta apa tujuannya, akan tetapi tidak membahas fenomena lain –yang tidak berada dalam lingkup pembahasannya-. Dan secara global pembahasan tentang apakah gerak ada di alam semesta ini ataukah tidak, dengan mengesampingkan substansi-substansi tertentu, berada di luar   institusi ilmu alam melainkan berada dalam batasan pembahasan murni filosofi, ..... dan karena pembahasan kita sekarang adalah tentang wujud gerak sebagai sebuah pembahasan filosofi  murni, maka hal ini harus dilakukan dengan memanfaatkan metode-metode khusus itu sendiri yang dalam filsafat ilahi dipergunakan untuk membuktikan eksistensi benda, lalu meletakkan inovasi ilmu alam sebagai saksi dan penegas, karena inderawi maupun deduksi tak satupun ada yang mampu membuktikan hakekat gerak dengan makna mendalam sebagaimana yang telah ditafsirkan, dan menjelaskan kemunculannya obyek luar.
Ringkasnya tidak satupun dari kesinambungan,  tahapan, perjalanan dari potensi, lepasnya dari potensi dan sampainya pada aktual dan kesempurnaan wujud, tidak akan terindera oleh  salah satupun dari panca indera dan ilmu yang perangkatnya adalah indera dan deduktif, tidak akan mempunyai kemampuuan untuk membuktikan hal-hal yang non inderawi dan diapun tidak mempunyai hak untuk mengingkarinya”.
         Mulla Sadra  (ra) sendiri dalam kitab Asfar-nya pun mengatakan bahwa gerak dan diam merupakan sebuah masalah yang tidak bisa difahami dengan indera, melainkan indera hanyalah sebagai penentu dan sahabat akal dalam memahami mereka.
Saksi lain yang menyatakan bahwa teori gerak merupakan sebuah teori filsafat murni dan bukannya sebuah teori eksperimen adalah bahwa “gerak” sama sekali tidak bisa dikatagorikan atau istilahnya tidak termasuk dalam kelompok mahiyat (esensi) dan akal pertama, melainkan termasuk ke dalam akal kedua filsafat dan oleh karena itu pembahasan yang berkaitan dengan masalah tersebut berada dalam institusi hikmah ilahi.




[1] Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, (Yogyakarta : KANISIUS, 2000), hlm 50

[2] . Will Durant, “Sejarah Filsafat”, hal. 70
[3] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat,0p,cit , Hlm 55
[4] Frederick Copeleston, “Tarikh Falsafah”, terjemahan Sayyid Jalaluddin Mujtabawy, J. 1, hal. 423-424.
[5] Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kansius. 1999. Hal 89
 




[1]. Abu ‘Ali Sina, “Fann Sama’ Tabii’i “ (dari kitab Shafa), terjemahan Muhammad   Ali Furughy
[2]  Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat,( Kanisius 19800, Hlm 46

1 comment:

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme