Tuesday 15 January 2013

Kerajaan-Kerajaan Islam Periode Awal Nusantara



A.        SAMUDERA PASAI
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad-7, ke-8 M dan seterusnya.[1] Kerajaan tersebut dirajai oleh Malik Al-Shaleh dan juga merupakan pendiri kerajaan Samudera Pasai. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan[2] bahwa gelar Malik Al-Shaleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah; yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Shaleh. Merah Selu adalah putra Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang ladzim di Sumatera Utara.

Dari hikayat itu, terdapat petunjuk bahwa awal masuknya Islam di Sumadera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara Sungai Peusangan yaitu Pasai dan Samudera. Kota Pasai terletak lebih ke muara sedangkan kota Samudera yang terletak agak lebih ke pedalaman. Peusangan ini adalah sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar disepanjang jalur pantai, memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Dari sinilah cikal bakal orang-orang melakukan perdagangan dari berbagai negara, dan tidak sekedar berdagang para pedagang juga menyebarkan agama.Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi Islam yang ramai. Ada pedagang dari India, Benggala Gujarat, Arab, Cina serta daerah di sekitarnya banyak berdatangan di Samudera Pasai. Samudera Pasai setelah pertahanannya kuat segera meluaskan wilayah kekuasaannya ke berbagai daerah pedalaman yang meliputi Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana, Simpag, Buloh Telang, Benua Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas, Pekan dan Pasai.
Samudera Pasai pada waktu itu dilihat dari segi geografis dan social ekonomi, merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina dan Arab. Ia adalah pusat perdagangan yang sangat penting. Tome Pires menceritakan bahwa di Pasai ada mata uang dirham. Adanya mata uang tersebut menandakan bahwa kerajaan tersebut adalah kerajaan yang makmur.
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Kemudian tahun 1524 M dianeksasi (penyatuan kembali daerah yang sudah terpisah) oleh raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[3]

B.        Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Kabupaten Aceh Besar. Anas Machmud  berpendapat bahwa Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-pazuing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[4] Menurutnya, pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya dari laut Jawa utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri.
Menurut H. J. de Graaf, Aceh menerima  Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah Aceh. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuhan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kama. Dan beliau juga berpendapat bahwa raja yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.[5]
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan kemenangannya terhadap daerah tersebut, Aceh dengan mudahnya meluaskan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untu mengatur daerah-daerah tersebut, raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah satunya adalah Gocah, pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.[6]
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Utsmani di Turki dan negara-negara Islam yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Utsmani tersebut, Aceh dapat membangun angkatan perangnya dengan baik.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir timur dan Barat Sumatera.dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan juga Minangkabau kecuali orang-orang Batak yang menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang. Bahkan untuk menangkis kekuatan Islam pada masa itu, Batak minta bantuan Portugis. Untuk mengalahkan Portugis, sultan kemudian menjalin kerja sama dengan musuh Portugis yaitu Belanda dan Inggris. Ini adalah salah satu cara atau yang dilakukan oleh Sultan Iskandar untuk menaklukkan musuhnya.

C.        Demak

Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi Raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada pengusaha-pengusaha Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Wali Songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, Wali Songo. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro. Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya Sambrang Lora tau dikenal dengan nama Pati Unus. Menurut Tome Pires, setelah naik tahta Pati Unus melakukan serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan besar.
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintahkan pada tahun 1524-1546. Pada masa sultan ketiga inilah Islam berkembang ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Demak berhasil menundukkan:
1.      Madiun, Blora (1530),
2.      Surabaya (1531),
3.      Pasuruan (1535),
4.      Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri (antara tahun 1541-1542), dan
5.      Kediri (1544).
Daerah Jawa tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, yaitu Syaikh Siti Jenar dan Sunan Tembayat.[7] Pada tahun 1546, sultan Trenggono terbunuh lalu ia digantikan adiknya Sunan Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama disebabkan oleh pemberontakan yang dilakukan oleh adipati-adipati sekitar Demak. Sunan Prawoto kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Kerajaan Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan. Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang. Usia kerajaan ini tidak panjang, kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram.

D.        Mataram

Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika sultan Adiwijaya dari pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang tersebut. Sebagai hadiah atasnya, sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian. Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di Mataram. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

E.        Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan di sana, bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. Akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayat yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari pangeran Walangsungsang. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan dan kemudian juga Banten. Dari Cirebon, Sunan Gunung jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kepala dan Banten.

F.         Banten

Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajran. Rajannya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui Faletehan, Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon. Sejak saat itu, Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570), Banten berkembang cepat menjadi besar dan wilayah meluas sampai ke Lampung, Bengkulu dan Palembang.
Raja Banten pertama, sultan Hasanuddin mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M kekuasaan kerajaan Pajajaran dapat ditaklukan, ibu kotanya direbut dan rajanya tewas dalam pertempuran.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tentram karena kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya pembangunan kota, bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran irigasi.
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Perdagangan Cina, India, Gujarat, Persia dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem masyarakat Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra sultan Maulana Yusuf yakni Maulana Muhammad yang berusia sembilan tahun diangkat menjadi raja dengan perwalian Mangkubumi.
Dan perang saudara, antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan Banten inilah yang menyebabkan kerajaan Banten mulai hancur apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap dalam memimpin seperti Maulana Yusuf.





[1] Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta:PN Balai Pustaka,1984. Hal. 3.
[2] Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, hal. 423-426.
[3] Taufik Abdullah (ed). 1992. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, hal. 55
[4] Anas Machmud: Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera
[5] H. J. de Graaf, op. Cit. hal. 5
[6] Anas Machmud, op cit. hal. 290
[7] Taufik Abdullah (ed). op. cit. hal. 70

No comments:

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme