A. SAMUDERA PASAI
Kerajaan Islam
pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini terletak di
pesisir Timur Laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan
mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak
abad-7, ke-8 M dan seterusnya.[1] Kerajaan tersebut dirajai
oleh Malik Al-Shaleh dan juga merupakan pendiri kerajaan Samudera Pasai. Dalam
Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan[2] bahwa gelar Malik
Al-Shaleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk
Islam berkat pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah;
yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Shaleh. Merah Selu adalah putra
Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang ladzim di Sumatera
Utara.
Dari hikayat itu,
terdapat petunjuk bahwa awal masuknya Islam di Sumadera Pasai adalah Muara
Sungai Peusangan. Ada dua kota yang terletak berseberangan di muara Sungai
Peusangan yaitu Pasai dan Samudera. Kota Pasai terletak lebih ke muara
sedangkan kota Samudera yang terletak agak lebih ke pedalaman. Peusangan ini
adalah sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar disepanjang jalur pantai,
memudahkan perahu-perahu dan kapal-kapal mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan
sebaliknya. Dari sinilah cikal bakal orang-orang melakukan perdagangan dari
berbagai negara, dan tidak sekedar berdagang para pedagang juga menyebarkan
agama.Samudera Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi
Islam yang ramai. Ada pedagang dari India, Benggala Gujarat, Arab, Cina serta
daerah di sekitarnya banyak berdatangan di Samudera Pasai. Samudera Pasai
setelah pertahanannya kuat segera meluaskan wilayah kekuasaannya ke berbagai
daerah pedalaman yang meliputi Tamiang, Balek Bimba, Samerlangga, Beruana,
Simpag, Buloh Telang, Benua Samudera, Perlak, Hambu Aer, Rama Candhi, Tukas,
Pekan dan Pasai.
Samudera Pasai pada
waktu itu dilihat dari segi geografis dan social ekonomi, merupakan suatu
daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang
terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina dan Arab. Ia adalah pusat
perdagangan yang sangat penting. Tome Pires menceritakan bahwa di Pasai ada
mata uang dirham. Adanya mata uang tersebut menandakan bahwa kerajaan tersebut
adalah kerajaan yang makmur.
Kerajaan Samudera
Pasai berlangsung sampai tahun 1524. Pada tahun 1521 M, kerajaan ini
ditaklukkan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun. Kemudian tahun
1524 M dianeksasi (penyatuan kembali daerah yang sudah terpisah) oleh raja Aceh,
Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh
kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[3]
B. Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh
terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Kabupaten Aceh Besar.
Anas Machmud berpendapat bahwa Kerajaan
Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-pazuing kerajaan Lamuri, oleh
Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[4] Menurutnya, pada masa
pemerintahannya Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan. Karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya berdagang dengan
Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis
(1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang
sebelumnya dari laut Jawa utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah
melalui Selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan
demikian, Aceh menjadi ramai dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
negeri.
Menurut H. J. de Graaf,
Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini
menjadi bagian wilayah Aceh. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuhan
dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-Kama. Dan beliau juga
berpendapat bahwa raja yang pertama adalah Ali Mughayat Syah.[5]
Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang
bekerja sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. Dengan
kemenangannya terhadap daerah tersebut, Aceh dengan mudahnya meluaskan sayap
kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untu mengatur daerah-daerah tersebut, raja Aceh
mengirim panglima-panglimanya, salah satunya adalah Gocah, pahlawan yang
menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.[6]
Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah
yang bergelar Al-Qahar. Dalam menghadapi bala tentara Portugis, ia menjalin
hubungan persahabatan dengan kerajaan Utsmani di Turki dan negara-negara Islam
yang lain di Indonesia. Dengan bantuan Turki Utsmani tersebut, Aceh dapat
membangun angkatan perangnya dengan baik.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637). Pada masanya aceh menguasai
seluruh pelabuhan di pesisir timur dan Barat Sumatera.dari Aceh, Tanah Gayo
yang berbatasan diislamkan juga Minangkabau kecuali orang-orang Batak yang
menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang. Bahkan untuk menangkis kekuatan
Islam pada masa itu, Batak minta bantuan Portugis. Untuk mengalahkan Portugis,
sultan kemudian menjalin kerja sama dengan musuh Portugis yaitu Belanda dan
Inggris. Ini adalah salah satu cara atau yang dilakukan oleh Sultan Iskandar
untuk menaklukkan musuhnya.
C. Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi Raja
Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada pengusaha-pengusaha Islam di pesisir
untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Wali
Songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak,
kerajaan Islam pertama di Jawa. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama
dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, Wali Songo.
Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro. Pemerintahan Raden Patah berlangsung
kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan, ia adalah
seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Ia
digantikan oleh anaknya Sambrang Lora tau dikenal dengan nama Pati Unus.
Menurut Tome Pires, setelah naik tahta Pati Unus melakukan serangan terhadap
Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukan oleh
Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar 1512-1513, tentaranya mengalami
kekalahan besar.
Pati Unus digantikan
oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar
Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintahkan pada tahun 1524-1546. Pada masa
sultan ketiga inilah Islam berkembang ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke
Kalimantan Selatan. Demak berhasil menundukkan:
1. Madiun, Blora
(1530),
2. Surabaya (1531),
3. Pasuruan (1535),
4. Lamongan, Blitar,
Wirasaba, dan Kediri (antara tahun 1541-1542), dan
5. Kediri (1544).
Daerah Jawa tengah
bagian Selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai
berkat pemuka Islam, yaitu Syaikh Siti Jenar dan Sunan Tembayat.[7] Pada tahun 1546, sultan
Trenggono terbunuh lalu ia digantikan adiknya Sunan Prawoto. Masa
pemerintahannya tidak berlangsung lama disebabkan oleh pemberontakan yang
dilakukan oleh adipati-adipati sekitar Demak. Sunan Prawoto kemudian dibunuh
oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Kerajaan Demak berakhir dan
dilanjutkan oleh kerajaan. Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh
Aria Penangsang. Usia kerajaan ini tidak panjang, kekuasaan dan kebesarannya
kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram.
D. Mataram
Awal dari kerajaan
Mataram adalah ketika sultan Adiwijaya dari pajang meminta bantuan kepada Ki
Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas
pemberontakan Aria Penangsang tersebut. Sebagai hadiah atasnya, sultan kemudian
menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja
Mataram Islam kemudian. Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati istana
barunya di Mataram. Kerajaan Mataram pada masa
keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.
Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya
firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada
masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan
kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia
meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan,
serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
E. Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan
oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad ke-16, Cirebon masih merupakan sebuah
daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya
menempatkan seorang juru labuhan di sana, bernama Pangeran Walangsungsang,
seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika
berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. Akan tetapi, orang
yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif
Hidayat yang terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan
dari pangeran Walangsungsang. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan dan
kemudian juga Banten. Dari Cirebon, Sunan Gunung jati mengembangkan Islam ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kepala dan Banten.
F. Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan
Kerajaan Pajajran. Rajannya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di
Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui Faletehan,
Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon. Sejak saat itu,
Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang
berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun
1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin.
Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570), Banten berkembang cepat
menjadi besar dan wilayah meluas sampai ke Lampung, Bengkulu dan Palembang.
Raja Banten pertama, sultan Hasanuddin mangkat pada tahun
1570 M dan digantikan oleh putranya Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf
memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M kekuasaan
kerajaan Pajajaran dapat ditaklukan, ibu kotanya direbut dan rajanya tewas
dalam pertempuran.
Pada masa
pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten
aman dan tentram karena kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan
dilaksanakannya pembangunan kota, bidang pertanian juga diperhatikan dengan
membuat saluran irigasi.
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena
menghasilkan lada dan pala yang banyak. Perdagangan Cina, India, Gujarat,
Persia dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial
masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem masyarakat Islam. Pengaruh tersebut
tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke
pedalaman.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah
perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah peristiwa itu,
putra sultan Maulana Yusuf yakni Maulana Muhammad yang berusia sembilan tahun
diangkat menjadi raja dengan perwalian Mangkubumi.
Dan perang saudara, antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan
Banten inilah yang menyebabkan kerajaan Banten mulai hancur apalagi sudah tidak
ada lagi raja yang cakap dalam memimpin seperti Maulana Yusuf.
[1]
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta:PN Balai
Pustaka,1984. Hal. 3.
[2]
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, hal. 423-426.
[3]
Taufik Abdullah (ed). 1992. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, hal. 55
[4]
Anas Machmud: Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur
Pulau Sumatera
[5] H.
J. de Graaf, op. Cit. hal. 5
[6]
Anas Machmud, op cit. hal. 290
[7]
Taufik Abdullah (ed). op. cit. hal. 70
No comments:
Post a Comment