Tuesday 15 January 2013

Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia

Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidiq

           Kepulauan Melayu-Indonesia terletak di bagian ujung dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografid ini sangat penting jika orang mencoba memahami dan menjelaskan Islamisasi di kawasan ini. Jauhnya Nusantara ini membuat proses Islamisasi ini berbeda dengan Islamisasi yang terjadi di kawasan umat Islam lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan. Berlawanan dengan wilayah-wilayah seperti Persia dan India yang dalam banyak hal mengalami Islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat – praktis tidak ada satu bagian dan kepulauan Melayu-Indonesia yang mengalami Islamisasi seperti itu. Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara hamper bersepakat dengan kenyataan bahwa Islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai dan tidak dengan ekspansi perluasan wilayah seperti Islamisasi yang terjadi sebelumnya.

            Mempertimbangakan hal diatas, masyarakat akan segera memahami beberapa masalah yang dihadapi ketika mencoba menjelaskan dan memahami Islam pada masa paling awal di Nusantara. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia adalah sebuah bentuk Negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku dan kebudayaaan. Maka dari itu, pengisalaman di tiap-tiap kawasan tidaklah sergam. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian dan bagian yang lainnya bergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya, tetapi juga bergantung pada watak dan budaya lokal masyarakat Indonesia yang dihadapi oleh Islam. Sebagai contoh, di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritim dan sangat terbuka terhadap kehidupan kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah dan dalah daripada di daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih tertutup. Karena alasan ini, pengamat yang jeli akan melihat beberapa perbedaan misalnya antara Islam Phanrang (yang berada di pesisir pusat wilayah Champa), atau di Leran (yang berada di pesisir Utara Jawa Timur), atau di Pasai (di Pesisir Utara Sumatera), atau di Malaka (yang berada di Pesisir Barat semenanjung Malaya) dan Islam di Kerajaan Mataram, Jawa Tengah, selama pengenalan-pengenalan Islam ke daerah tersebut.[1]
            Untuk mengelaborasi lebih jauh, penduduk pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan Internasional, dalam satu atau lain hal, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang Muslim yang sudah berada di Nusantara kurang lebih sejak abad ke 7 untuk tetep mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk Islam, penguasa lokal pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah konversi penguasa Malaka, Parameswara, yang menerima Islam demi menarik para pedagang Muslim ke Pelabuhannya yang baru dibangun. Jelas bahwa keragaman yang luar biasa di Nusantara ini tidak hanya dalam hal distribusi Geografis penduduknya saja, tetapi juga ekspresi Sosial Kultural, Ekonomi dan politik yang tidak memungkinkan untuk merumuskan teori tunggal tentang Islamisasi periodisasi umum untuk seluruh kawasan. Memaksakan teori atau generalisasi yang berkaitan dengan Islamisasi Nusantara semacam itu hanya akan berarti simplifikasi berlebihan atau bahkan distorsi terhadap wacana histografi Islam di kawasan ini.
A.        Teori Tentang Masuknya Islam ke Indonesia
            Seperti yang telah disinggung diatas bahwa Islamisasi di Indonesia baik secara Historis maupun Sosiologis sangatlah kompleks, terdapat banyak masalah mengenai sejarah dan perkembangan awal Islam. Oleh karena itu para peneliti dan para cendekiawan sering berbeda pendapat. Haruslah diakui bahwa penulisan sejarah Indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering ada usaha untuk meminimalisasi peran Islam., si samping para usaha cendekiawan Muslim ynag ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
            Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai[2]. Yang kita tah sangatlah berbeda dengan islamisasi di kawasan Timur Tengah yang di warnai ekspansi wilayah dan Pendudukan kekuasaan oleh militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama “da’I” dan para Sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan da’wah yang pertama itu tidak bertendensi apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah atau prasati pribadi yang sengaja mereka buat untuk mengabdikan peran mereka, ditambah lagi dengan wilayah Indonesia yang sangat luas dengan perbedaan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, wajar kalaulah terjadi perbedaan tentang kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam dating ke Nusantara. Namun secara garis besar perbedaan pendapat itu dibagi menjadi berikut :
v  Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hurgonje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama, Malik As-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.
v  Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Prof. Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia di awal-awal abad hijriah ( kurang lebih abad ke-7 sampai ke-8 masehi) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat Internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayah di Asia Barat[3].
v  Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya, memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau pada abad ke 7-8 M, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad, Ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan. Kehancuran Baghdad mengakibatkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan kearah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara[4].
Bersamaan dengan para pedagang, datang pula para da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang dari negeri-negeri di ketiga bagian benua Asia. Hal itu memungkinkan terjadinya hubungan timbale balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat Muslim. Pertumbuhan perkampungan ini makin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat ekonomis tetapi mulai membentuk struktur kepemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu , Kepala Suku Kampung Samudera menjadi Sultan Malik As-Saleh.
Dari Paparan diatas, dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut :
1.         Saluran Perdagangan
            Pada taraf permulaan, saluran dari Islamisasi adalah melewati jalan perdangan dengan melalui jalur pelayaran. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke -16 M, membuat para pedagang Muslim (Arab,Persia,India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bagsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tom Pires mengenai saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan, Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak ynag bermukim di Pesisir Pulau Jawa yang penduduknya kala itu masih non-Muslim. Mereka berhasil mendirikan Mesjid-kmesjid dan mendatangkan Ulama-ulama dari luar sehingga jumlah mereka semakin banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya raya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjadi bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di Pesisir Utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena factor politik kerajaan majapahit yang pada waktu itu sedang goyah, tetapi lebih kepada factor hubungan ekonomi dengan para pedagang Muslim yang sangat erat. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempattempat tinggalnya.
2.         Saluran Pernikahan
            Dari sudut ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik dari pada kebanyakan pribumi yang kemudian pada perkembangannya menarik perhatian para putrid-putri bangsawan untuk menikahi para pedagang itu. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan Masyarakat Muslim. Dengan pernikahan itu, secara tidak langsung orang Muslim(pedagang) ntersebut status sosial nya menjadi lebih tinggi di tambah dengan statu kebangsawanannya. Lebih-lebih apabila pedagang besar menikah dengan para putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi dll. Namun pada perkembangan berikutnya, ada pula para wanita (pedagang) Muslim yang kemudian dinikahkan dengan putra-putra bangsa.
3.         Saluran Pendidikan
            Setelah kedudukan para pedagang itu semakin mantap dan mempunyai pengaruh, mereka melakukan Islamisasi dengan jalur pendidikan. Yang di realisasikan dengan cara membuat pondo-pondok pesantren yang dipimpin oleh para Ulama dan para Kiayi yang mengajarkan pendidikan agama Islam kepada Santri-santri. Yang kemudian para santri itu pulang kedaerahnya masing-masing untuk menyebarkan ilmu yang telah didapatnya di pesantren. Namun pesantren pada waktu itu tidak hanya sebagai media untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam saja namun juga merupakan markas-markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Djatidengan Syaikh Dzatu Kahfi dll.
4.         Saluran Tasawuf
            Telah disinggung diatas bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para Ulama, da’I dan para Sufi. Para Ulama dan para Sufi itu kemudian pada perkembangan selanjutnya diangkat sebagai penasihat atau pejabat agama di kerajaan. Pengajar-pengajar Tasawuf atau para sufi ini mengajarkan teosofi yang sudah bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat pada umumnya. Dengan tasawwuf bentuk Islam yang yang diajarkan kepada penduduk pribumi sedikit mempunyai kesamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu, sehingga ajaran mereka mudah untuk dipahami dan diterima. Diantara para sufi tersebut ialah Hamzah Fanshuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dll. Demikian juga kerajaan –kerajaan di jawa mempunyai penasihat yang bergelar Wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
            Para Sufi Menyebarkan islam melalui dua cara :
Ø  Dengan membentuk kader mubaligh, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama Islam didaerah asalnya. Dengan demikian Abd. Rauf (salah seorang sufi) mempunyai murid yang kemudian menyebarkan Islam di daerah asalnya, diantaranya Syaikh Burhanuddin Ulakan, dan Syaikh Abd. Muhyi Pamijahan dari Jawa Barat; Sunan Giri mempunyai murid Sultan Zaenul Abidin di Ternate; Dato Ri Bandang menyebarkan Islam ke Sulawesi, Bima dan Buton; Khatib Sulaeman di Minangkabau mengembangkan Islam ke Kalimantan Timur; Sunan Prapen (Ayahnya Sunan Giri) menyebarkan Islam ke NTB
Ø  Melalui karya-karya tulis yang tersebar di berbagai tempat. Di abad ke 17, Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para Ulama dan para Sufi. Hamzah Fanshuri menulis : “Ashrar al-‘Arifin fi Bayan ila as-Suluk wa at-Tauhid, juga syair perahu yang merupakan syair para sufi. Nuruddin ulama zaman Iskandar Tsani, menulis kitab hukum Islam Shirat al-Mustaqim.
5.         Saluran Kesenian
            Saluran yang paling banyak dipakai untuk penyebaran ajaran agama Islam di Jawa adalah Kesenian. Kesenian pada zaman itu dipandang lebih menarik karena masuk langsung ke unsure sosio kultur masyarakat jawa pada waktu itu. Adapun jenis-jenis kesenian yang dipakai adalah berupa Seni Arsitektur, Gamelan, Hikayat, Sastra dan yang paling terkenal adalah Wayang. Tokoh yang paling terkenal dalam penyebaran agama Islam melalui kesenian ini adalah Sunan Kalijaga. Beliau paling pandai memainkan wayang sebagai metodenya dalam Kesenian. Cerita pewayangan yang paling terkenal pada masa itu ialah cerita mengenai Mahabrata dan Ramayana, yang dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan Islam.[5]
            Melalui saluran-saluran itu Islam secara berangsur-angsur menyebar. Penyebaran Islam di Indonesia secara kasar dibagi menjadi 3 tahap :
Pertama          : Dimulai dengan kedatangan Islam yang diikuti oleh kemerosotan kemudian    keruntuhan Majapahit pada abad ke-14 sampai 15 M.
Kedua              : Sejak datang dan mapannya kekuasaan colonial Belanda hingga abad ke 19
Ketiga              : Bermula pada abad ke-20 dengan terjadinya “liberalisasi” kebijakan pemerintah colonial Belanda di Indonesia. Dalam tahapan itu, akan terlihat proses Islamisasi sampai mencapai tingkat seperti sekarang.[6]
                                    Pada tahap pertama, penyebaran masih relatif di daerah pelabuhan. Tidak lama kemudian Islam mulai memasuki wilayah pesisir lainnaya dan pedesaan. Pada tahap ini, pedagang, ulama-ulama tarekat (para wali) dengan murid-murid mereka memegang peran penting. Mereka memperoleh petronase dari penguasa lokal dan dalam banyak kasus, para penguasa lokal juga berperan dalam penyebaran Islam. Islamisasi pada tahap ini ditandai dengan aspek tasawuf, meskipun aspek hukum (syari’ah) juga tidak diabaikan. Islam pada mulanya mendapatkan kubu-kubu terkuatnya di kota-kota pelabuhan di pesisir jawa. Proses Islamisasi Nusantara berawal dari kota-kota. Di perkotaan itu sendiri Islam adlah fenomena dari Istana. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan resmi penguasa.
            Tahap kedua,  penyebaran Islam terjadi ketika VOC makin mantap menjadi penguasa di Indonesia. Sebenarnya pada abad ke-17 baru merupakan salah satu kekuatan yang ikut bersaing dalam kompetisi dagang dan politik kerajaan Islam nusantara. Akan tetapi, pada abad ke-18 VOC berhasil tampil sebagai pemegang hegemoni politik di Jawa dengan terjadinya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang memecah Mataram menjadi 2 : Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian tersebut menjadikan raja-raja Jawa tidak memiliki wibawa karena kekuasaan-kekuasaan politik telah jatuh ketangan penjajah, sehingga raja menjadi sangat tergantung kepada VOC. Campur tangan VOC terhadap kerajaan makin luas termasuk masalah keagamaan. Peran Ulama di kerajaan terpinggirkan. Oleh karena itu, ulama keluar dari keratin dan mengadakan perlawanan sambil memobilisasi petani membentuk pesantren dan melawan colonial seperti syaikh Yussuf Al-Makassari.[7]
            Tahap ketiga terjadi pada awal ke 20, ketika terjadi liberalisasi kebijakan pemerintah Belanda. Ketika Belanda mengalami deficit yang tinggi akibat menanggulangi tiga perang besar (perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh) yang kemudian diangkatlah Jendral J. van Den Bosch sebagai gubernur yang kemudian mengeluarkan sistem tanam paksa. Bersamaan dengan itu dilaksanakanlah upaya menjinakan Islam yang pada saat itu tampil sebagai ancaman kekuasaan Belanda. Muncul di dunia Internasional Islam Dinamika Islam berupa Kosmopolitanisme (rasa satu dunia) yang mula-mula timbul di timur tengah yang kemudian mengilhami munculnya dinamika Islam di Indonesia.


B.        Perkembangan Islam di Nusantara
            Islam di Nusantara merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban Islam ( sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam yang berpusat di Baghdad tahun 1258). Kebudayaan (peradaban) yang disebut Arab Melayu yang tersebar di kawasan Asia Tenggara memiliki cirri-ciri Universal yang menyebabkan peradaban itu tetap mempertahankan bentuk integralitasnya, tetapi pada saat yang sama mempunyai unsure-unsur yang khas kawasan itu. Kemunculan dan perkembangan Islam di kawasan itu menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal. Terjadinya transformasi dari sistem keagamaan lokal ke sistem keagamaan Islam bisa disebut sebagai revolusi agama yang terjadi bersamaan dengan “masa perdagangan”, masa ketika Asia Tenggara mempunyai posisi yang diperhitungkan dalam perdagangan Timur-Barat. Masa ini mengantarkan Masyarakat menuju internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada sebelumnya.
            Konversi missal masyarakat Nusantara kepada Islam ini terjadi karena sebab-sebab berikut :
a.       Portabilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan lokal berpusat pada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak “portable” (siap pakai dimanapun dan berlaku kapanpun). Oleh karena itu, para penganut kepercayaan itu tidak boleh jauh dari lingkungannya, sebab kalau jauh mereka tidak akan mendapat perlindungan dari arwah yang dipuja. Sementara itu, mereka yang karena suatu alasan harus meninggalkan lingkungan arwah nenek moyang dan mulai mencari sistem keimanan yang berlaku universal, sistem kepercayaan kepada Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan dimanapun mereka berada. Sistem kepercayaan inilah yang mereka temukan dalam Islam. Hasilnya, ketika wilayah Arab Melayu terekrut kedalam perdagangan international, para pedagang Muslim Mancanegara meminkan peranan penting mendorong konversi masal yang terjadi di kota-kota pelabuhan yang kemudian berkembang menjadi entitas politik muslim[8].
b.      Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peranan pentingnya dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatiknya.
c.       Kejayaan militer, orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Majapahit dipercaya dikalahkan para pejung Muslim yang tidak bisa ditundukan secara magis.
d.      Memperkenalkan tulisan. Agama Islam smemperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan, sedangkan sebagian yang lain sudah mengenal huruf sanskerta. Pengenalan tulisan Arab memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mempunyai kemampuan membaca. Islam juga meletakan otoritas keilahian pada kitab suci yang ditulis kedalam bahasa yang tidak dikuasai penduduk lokal sehingga memperkuat bobot sakralitasnya.
e.       Mengajarkan penghafalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sacral. Mereka membuat teks-teks yang ditulis untuk menyampaikan kebenaran yang dapat dipahami dan dihapalkan. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan kepentingan ibadah seperti Shalat.
f.       Kepandaian dalam penyembuhan. Di Jawa terdapat legenda yang mengkaitkan penyebaran Islam dengan epidemic yang melanda penduduk. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Raja Patani menjadi Muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang syaikh dari Pasai.
g.      Pengajaran tentang moral dan kesetaraan sosial. Islam mengajarkan keselamatan dari kekuatan jahat, memberikan solusi bagi berbagai masalah dan memberikan ketentraman ruhani. Selain itu, islam juga mengajarkan bahwa manusia semuanya dimata Allah adalah sama. Tidak ada yang lebih special kecuali orang-orang yang bertakwa.





[1] A.H. Johns, “From Coastal Settlement to Islamic School and City : Islamization in Sumatera, the Malay peninsula and Java”, Hamdard  Islamicus, 4, 4 (1981) hal. 5
[2] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1999) hlm. 8
[3] A. Hasymy, Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung:Al-Ma’arif, 1981), hlm. 358
[4]Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Majelis Ulama Indonesia, 1991), hlm.39.
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal 12
[6] Azyumardi Azra, Renaisans, op. Cit., hlm. 34.
[7] Taufik Abdullah, Op. Cit., hlm.144
[8] Azyumardi Azra, Renaisans, Op. Cit., hlm. 62

No comments:

Post a Comment

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme