Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidiq
Kepulauan Melayu-Indonesia terletak di bagian ujung dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografid ini sangat penting jika orang mencoba memahami dan menjelaskan Islamisasi di kawasan ini. Jauhnya Nusantara ini membuat proses Islamisasi ini berbeda dengan Islamisasi yang terjadi di kawasan umat Islam lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan. Berlawanan dengan wilayah-wilayah seperti Persia dan India yang dalam banyak hal mengalami Islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat – praktis tidak ada satu bagian dan kepulauan Melayu-Indonesia yang mengalami Islamisasi seperti itu. Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara hamper bersepakat dengan kenyataan bahwa Islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai dan tidak dengan ekspansi perluasan wilayah seperti Islamisasi yang terjadi sebelumnya.
Kepulauan Melayu-Indonesia terletak di bagian ujung dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografid ini sangat penting jika orang mencoba memahami dan menjelaskan Islamisasi di kawasan ini. Jauhnya Nusantara ini membuat proses Islamisasi ini berbeda dengan Islamisasi yang terjadi di kawasan umat Islam lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan. Berlawanan dengan wilayah-wilayah seperti Persia dan India yang dalam banyak hal mengalami Islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat – praktis tidak ada satu bagian dan kepulauan Melayu-Indonesia yang mengalami Islamisasi seperti itu. Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Nusantara hamper bersepakat dengan kenyataan bahwa Islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai dan tidak dengan ekspansi perluasan wilayah seperti Islamisasi yang terjadi sebelumnya.
Mempertimbangakan
hal diatas, masyarakat akan segera memahami beberapa masalah yang dihadapi
ketika mencoba menjelaskan dan memahami Islam pada masa paling awal di
Nusantara. Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia adalah sebuah bentuk Negara
kepulauan yang terdiri dari beragam suku dan kebudayaaan. Maka dari itu,
pengisalaman di tiap-tiap kawasan tidaklah sergam. Tingkat penerimaan Islam
pada satu bagian dan bagian yang lainnya bergantung tidak hanya pada waktu
pengenalannya, tetapi juga bergantung pada watak dan budaya lokal masyarakat
Indonesia yang dihadapi oleh Islam. Sebagai contoh, di daerah pesisir yang
umumnya memiliki budaya maritim dan sangat terbuka terhadap kehidupan
kosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah dan dalah daripada di
daerah pedalaman yang memiliki budaya agraris yang lebih tertutup. Karena
alasan ini, pengamat yang jeli akan melihat beberapa perbedaan misalnya antara
Islam Phanrang (yang berada di pesisir pusat wilayah Champa), atau di Leran
(yang berada di pesisir Utara Jawa Timur), atau di Pasai (di Pesisir Utara Sumatera),
atau di Malaka (yang berada di Pesisir Barat semenanjung Malaya) dan Islam di
Kerajaan Mataram, Jawa Tengah, selama pengenalan-pengenalan Islam ke daerah
tersebut.[1]
Untuk
mengelaborasi lebih jauh, penduduk pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan
Internasional, dalam satu atau lain hal, cenderung menerima Islam dalam rangka
mempertahankan para pedagang Muslim yang sudah berada di Nusantara kurang lebih
sejak abad ke 7 untuk tetep mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan
mereka. Dengan masuk Islam, penguasa lokal pada batas tertentu mengadopsi
aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan
sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi
perdagangan. Contoh kasus ini adalah konversi penguasa Malaka, Parameswara,
yang menerima Islam demi menarik para pedagang Muslim ke Pelabuhannya yang baru
dibangun. Jelas bahwa keragaman yang luar biasa di Nusantara ini tidak hanya
dalam hal distribusi Geografis penduduknya saja, tetapi juga ekspresi Sosial
Kultural, Ekonomi dan politik yang tidak memungkinkan untuk merumuskan teori
tunggal tentang Islamisasi periodisasi umum untuk seluruh kawasan. Memaksakan
teori atau generalisasi yang berkaitan dengan Islamisasi Nusantara semacam itu
hanya akan berarti simplifikasi berlebihan atau bahkan distorsi terhadap wacana
histografi Islam di kawasan ini.
A. Teori Tentang
Masuknya Islam ke Indonesia
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa Islamisasi di Indonesia
baik secara Historis maupun Sosiologis sangatlah kompleks, terdapat banyak
masalah mengenai sejarah dan perkembangan awal Islam. Oleh karena itu para
peneliti dan para cendekiawan sering berbeda pendapat. Haruslah diakui bahwa
penulisan sejarah Indonesia diawali oleh golongan orientalis yang sering ada
usaha untuk meminimalisasi peran Islam., si samping para usaha cendekiawan
Muslim ynag ingin mengemukakan fakta sejarah yang lebih jujur.
Suatu kenyataan
bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai[2].
Yang kita tah sangatlah berbeda dengan islamisasi di kawasan Timur Tengah yang
di warnai ekspansi wilayah dan Pendudukan kekuasaan oleh militer Muslim. Islam
dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para
guru agama “da’I” dan para Sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan
da’wah yang pertama itu tidak bertendensi apapun selain bertanggung jawab
menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja.
Tidak ada catatan sejarah atau prasati pribadi yang sengaja mereka buat untuk
mengabdikan peran mereka, ditambah lagi dengan wilayah Indonesia yang sangat
luas dengan perbedaan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, wajar kalaulah
terjadi perbedaan tentang kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam
dating ke Nusantara. Namun secara garis besar perbedaan pendapat itu dibagi
menjadi berikut :
v Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis
Belanda, diantaranya Snouck Hurgonje yang berpendapat bahwa Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-13 Masehi dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan
bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama, Malik As-Saleh,
raja pertama kerajaan Samudera Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.
v Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya
Prof. Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke
Indonesia di awal-awal abad hijriah ( kurang lebih abad ke-7 sampai ke-8
masehi) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat
Internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 melalui Selat Malaka yang
menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayah
di Asia Barat[3].
v Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan
kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya, memang benar Islam sudah datang
ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau pada abad ke 7-8 M, tetapi baru
dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam
masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13
dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik
kehancuran Baghdad, Ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan. Kehancuran Baghdad
mengakibatkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan kearah Asia
Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara[4].
Bersamaan
dengan para pedagang, datang pula para da’i-da’i dan musafir-musafir sufi.
Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang dari
negeri-negeri di ketiga bagian benua Asia. Hal itu memungkinkan terjadinya
hubungan timbale balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat Muslim.
Pertumbuhan perkampungan ini makin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya
bersifat ekonomis tetapi mulai membentuk struktur kepemerintahan dengan
mengangkat Meurah Silu , Kepala Suku Kampung Samudera menjadi Sultan
Malik As-Saleh.
Dari Paparan diatas, dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke
Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut :
1. Saluran Perdagangan
Pada taraf
permulaan, saluran dari Islamisasi adalah melewati jalan perdangan dengan
melalui jalur pelayaran. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7
hingga ke -16 M, membuat para pedagang Muslim (Arab,Persia,India) turut ambil
bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur
Benua Asia. Saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan ini sangat
menguntungkan karena para raja dan bagsawan turut serta dalam kegiatan
perdagangan, bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat
Tom Pires mengenai saluran Islamisasi melalui jalur perdagangan, Uka
Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak ynag bermukim di
Pesisir Pulau Jawa yang penduduknya kala itu masih non-Muslim. Mereka berhasil
mendirikan Mesjid-kmesjid dan mendatangkan Ulama-ulama dari luar sehingga
jumlah mereka semakin banyak, dan karenanya anak-anak Muslim itu menjadi orang
Jawa dan kaya raya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa yang menjadi
bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di Pesisir Utara Jawa banyak yang
masuk Islam, bukan hanya karena factor politik kerajaan majapahit yang pada
waktu itu sedang goyah, tetapi lebih kepada factor hubungan ekonomi dengan para
pedagang Muslim yang sangat erat. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka
mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempattempat tinggalnya.
2. Saluran Pernikahan
Dari sudut
ekonomi, para pedagang Muslim memiliki status sosial yang lebih baik dari pada
kebanyakan pribumi yang kemudian pada perkembangannya menarik perhatian para
putrid-putri bangsawan untuk menikahi para pedagang itu. Hal ini akan
mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan Masyarakat
Muslim. Dengan pernikahan itu, secara tidak langsung orang Muslim(pedagang)
ntersebut status sosial nya menjadi lebih tinggi di tambah dengan statu
kebangsawanannya. Lebih-lebih apabila pedagang besar menikah dengan para putri
raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan,
syahbandar, qadi dll. Namun pada perkembangan berikutnya, ada pula para wanita
(pedagang) Muslim yang kemudian dinikahkan dengan putra-putra bangsa.
3. Saluran Pendidikan
Setelah kedudukan
para pedagang itu semakin mantap dan mempunyai pengaruh, mereka melakukan
Islamisasi dengan jalur pendidikan. Yang di realisasikan dengan cara membuat
pondo-pondok pesantren yang dipimpin oleh para Ulama dan para Kiayi yang
mengajarkan pendidikan agama Islam kepada Santri-santri. Yang kemudian para
santri itu pulang kedaerahnya masing-masing untuk menyebarkan ilmu yang telah
didapatnya di pesantren. Namun pesantren pada waktu itu tidak hanya sebagai
media untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam saja namun juga merupakan
markas-markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja
Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung
Djatidengan Syaikh Dzatu Kahfi dll.
4. Saluran Tasawuf
Telah disinggung
diatas bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para Ulama, da’I dan para
Sufi. Para Ulama dan para Sufi itu kemudian pada perkembangan selanjutnya
diangkat sebagai penasihat atau pejabat agama di kerajaan. Pengajar-pengajar
Tasawuf atau para sufi ini mengajarkan teosofi yang sudah bercampur dengan
ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat pada umumnya. Dengan tasawwuf
bentuk Islam yang yang diajarkan kepada penduduk pribumi sedikit mempunyai
kesamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu,
sehingga ajaran mereka mudah untuk dipahami dan diterima. Diantara para sufi
tersebut ialah Hamzah Fanshuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri dll.
Demikian juga kerajaan –kerajaan di jawa mempunyai penasihat yang bergelar
Wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
Para Sufi
Menyebarkan islam melalui dua cara :
Ø Dengan membentuk kader mubaligh, agar mampu mengajarkan serta
menyebarkan agama Islam didaerah asalnya. Dengan demikian Abd. Rauf (salah
seorang sufi) mempunyai murid yang kemudian menyebarkan Islam di daerah
asalnya, diantaranya Syaikh Burhanuddin Ulakan, dan Syaikh Abd. Muhyi Pamijahan
dari Jawa Barat; Sunan Giri mempunyai murid Sultan Zaenul Abidin di Ternate;
Dato Ri Bandang menyebarkan Islam ke Sulawesi, Bima dan Buton; Khatib Sulaeman
di Minangkabau mengembangkan Islam ke Kalimantan Timur; Sunan Prapen (Ayahnya
Sunan Giri) menyebarkan Islam ke NTB
Ø Melalui karya-karya tulis yang tersebar di berbagai tempat. Di abad
ke 17, Aceh adalah pusat perkembangan karya-karya keagamaan yang ditulis para
Ulama dan para Sufi. Hamzah Fanshuri menulis : “Ashrar al-‘Arifin fi Bayan
ila as-Suluk wa at-Tauhid, juga syair perahu yang merupakan syair para
sufi. Nuruddin ulama zaman Iskandar Tsani, menulis kitab hukum Islam Shirat
al-Mustaqim.
5. Saluran Kesenian
Saluran yang
paling banyak dipakai untuk penyebaran ajaran agama Islam di Jawa adalah
Kesenian. Kesenian pada zaman itu dipandang lebih menarik karena masuk langsung
ke unsure sosio kultur masyarakat jawa pada waktu itu. Adapun jenis-jenis
kesenian yang dipakai adalah berupa Seni Arsitektur, Gamelan, Hikayat, Sastra
dan yang paling terkenal adalah Wayang. Tokoh yang paling terkenal dalam
penyebaran agama Islam melalui kesenian ini adalah Sunan Kalijaga. Beliau
paling pandai memainkan wayang sebagai metodenya dalam Kesenian. Cerita
pewayangan yang paling terkenal pada masa itu ialah cerita mengenai Mahabrata
dan Ramayana, yang dalam cerita itu disisipkan ajaran dan nama-nama pahlawan
Islam.[5]
Melalui
saluran-saluran itu Islam secara berangsur-angsur menyebar. Penyebaran Islam di
Indonesia secara kasar dibagi menjadi 3 tahap :
Pertama : Dimulai
dengan kedatangan Islam yang diikuti oleh kemerosotan kemudian keruntuhan Majapahit pada abad ke-14 sampai
15 M.
Kedua : Sejak datang dan mapannya kekuasaan colonial Belanda hingga abad
ke 19
Ketiga : Bermula pada abad ke-20 dengan terjadinya “liberalisasi” kebijakan
pemerintah colonial Belanda di Indonesia. Dalam tahapan itu, akan terlihat
proses Islamisasi sampai mencapai tingkat seperti sekarang.[6]
Pada
tahap pertama, penyebaran masih relatif di daerah pelabuhan. Tidak lama
kemudian Islam mulai memasuki wilayah pesisir lainnaya dan pedesaan. Pada tahap
ini, pedagang, ulama-ulama tarekat (para wali) dengan murid-murid mereka
memegang peran penting. Mereka memperoleh petronase dari penguasa lokal dan
dalam banyak kasus, para penguasa lokal juga berperan dalam penyebaran Islam.
Islamisasi pada tahap ini ditandai dengan aspek tasawuf, meskipun aspek hukum
(syari’ah) juga tidak diabaikan. Islam pada mulanya mendapatkan kubu-kubu
terkuatnya di kota-kota pelabuhan di pesisir jawa. Proses Islamisasi Nusantara
berawal dari kota-kota. Di perkotaan itu sendiri Islam adlah fenomena dari
Istana. Istana kerajaan menjadi pusat pengembangan intelektual Islam atas perlindungan
resmi penguasa.
Tahap kedua, penyebaran Islam terjadi ketika VOC makin
mantap menjadi penguasa di Indonesia. Sebenarnya pada abad ke-17 baru merupakan
salah satu kekuatan yang ikut bersaing dalam kompetisi dagang dan politik
kerajaan Islam nusantara. Akan tetapi, pada abad ke-18 VOC berhasil tampil
sebagai pemegang hegemoni politik di Jawa dengan terjadinya perjanjian Giyanti
tahun 1755 yang memecah Mataram menjadi 2 : Surakarta dan Yogyakarta.
Perjanjian tersebut menjadikan raja-raja Jawa tidak memiliki wibawa karena
kekuasaan-kekuasaan politik telah jatuh ketangan penjajah, sehingga raja
menjadi sangat tergantung kepada VOC. Campur tangan VOC terhadap kerajaan makin
luas termasuk masalah keagamaan. Peran Ulama di kerajaan terpinggirkan. Oleh karena
itu, ulama keluar dari keratin dan mengadakan perlawanan sambil memobilisasi
petani membentuk pesantren dan melawan colonial seperti syaikh Yussuf
Al-Makassari.[7]
Tahap ketiga terjadi
pada awal ke 20, ketika terjadi liberalisasi kebijakan pemerintah Belanda.
Ketika Belanda mengalami deficit yang tinggi akibat menanggulangi tiga perang
besar (perang Diponegoro, perang Padri, perang Aceh) yang kemudian diangkatlah
Jendral J. van Den Bosch sebagai gubernur yang kemudian mengeluarkan sistem
tanam paksa. Bersamaan dengan itu dilaksanakanlah upaya menjinakan Islam yang
pada saat itu tampil sebagai ancaman kekuasaan Belanda. Muncul di dunia
Internasional Islam Dinamika Islam berupa Kosmopolitanisme (rasa satu dunia)
yang mula-mula timbul di timur tengah yang kemudian mengilhami munculnya
dinamika Islam di Indonesia.
B. Perkembangan Islam
di Nusantara
Islam di Nusantara merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban
Islam ( sesudah hancurnya persatuan peradaban Islam yang berpusat di Baghdad
tahun 1258). Kebudayaan (peradaban) yang disebut Arab Melayu yang tersebar di
kawasan Asia Tenggara memiliki cirri-ciri Universal yang menyebabkan peradaban
itu tetap mempertahankan bentuk integralitasnya, tetapi pada saat yang sama
mempunyai unsure-unsur yang khas kawasan itu. Kemunculan dan perkembangan Islam
di kawasan itu menimbulkan transformasi kebudayaan (peradaban) lokal.
Terjadinya transformasi dari sistem keagamaan lokal ke sistem keagamaan Islam
bisa disebut sebagai revolusi agama yang terjadi bersamaan dengan “masa
perdagangan”, masa ketika Asia Tenggara mempunyai posisi yang diperhitungkan
dalam perdagangan Timur-Barat. Masa ini mengantarkan Masyarakat menuju
internasionalisasi perdagangan dan kosmopolitanisme kebudayaan yang tidak
pernah dialami masyarakat di kawasan ini pada sebelumnya.
Konversi missal
masyarakat Nusantara kepada Islam ini terjadi karena sebab-sebab berikut :
a.
Portabilitas
(siap pakai) sistem keimanan Islam. Sebelum Islam datang, sistem kepercayaan
lokal berpusat pada penyembahan arwah nenek moyang yang tidak “portable” (siap
pakai dimanapun dan berlaku kapanpun). Oleh karena itu, para penganut
kepercayaan itu tidak boleh jauh dari lingkungannya, sebab kalau jauh mereka
tidak akan mendapat perlindungan dari arwah yang dipuja. Sementara itu, mereka
yang karena suatu alasan harus meninggalkan lingkungan arwah nenek moyang dan
mulai mencari sistem keimanan yang berlaku universal, sistem kepercayaan kepada
Tuhan yang berada di mana-mana dan siap memberikan perlindungan dimanapun
mereka berada. Sistem kepercayaan inilah yang mereka temukan dalam Islam.
Hasilnya, ketika wilayah Arab Melayu terekrut kedalam perdagangan
international, para pedagang Muslim Mancanegara meminkan peranan penting
mendorong konversi masal yang terjadi di kota-kota pelabuhan yang kemudian
berkembang menjadi entitas politik muslim[8].
b.
Asosiasi Islam
dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi
dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang kaya raya.
Karena kekayaan dan kekuatan ekonominya, mereka bisa memainkan peranan
pentingnya dalam bidang politik entitas lokal dan bidang diplomatiknya.
c.
Kejayaan
militer, orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Majapahit
dipercaya dikalahkan para pejung Muslim yang tidak bisa ditundukan secara magis.
d.
Memperkenalkan
tulisan. Agama Islam smemperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara
yang sebagian besar belum mengenal tulisan, sedangkan sebagian yang lain sudah
mengenal huruf sanskerta. Pengenalan tulisan Arab memberikan kesempatan yang
lebih besar untuk mempunyai kemampuan membaca. Islam juga meletakan otoritas
keilahian pada kitab suci yang ditulis kedalam bahasa yang tidak dikuasai
penduduk lokal sehingga memperkuat bobot sakralitasnya.
e.
Mengajarkan
penghafalan. Para penyebar Islam menyandarkan otoritas sacral. Mereka membuat
teks-teks yang ditulis untuk menyampaikan kebenaran yang dapat dipahami dan
dihapalkan. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk
kepentingan kepentingan ibadah seperti Shalat.
f.
Kepandaian
dalam penyembuhan. Di Jawa terdapat legenda yang mengkaitkan penyebaran Islam
dengan epidemic yang melanda penduduk. Tradisi tentang konversi kepada Islam
berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Raja
Patani menjadi Muslim setelah disembuhkan penyakitnya oleh seorang syaikh dari
Pasai.
g.
Pengajaran
tentang moral dan kesetaraan sosial. Islam mengajarkan keselamatan dari
kekuatan jahat, memberikan solusi bagi berbagai masalah dan memberikan
ketentraman ruhani. Selain itu, islam juga mengajarkan bahwa manusia semuanya
dimata Allah adalah sama. Tidak ada yang lebih special kecuali orang-orang yang
bertakwa.
[1]
A.H. Johns, “From Coastal Settlement to Islamic School and City : Islamization
in Sumatera, the Malay peninsula and Java”, Hamdard Islamicus, 4, 4 (1981) hal. 5
[2]
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
(Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 1999) hlm. 8
[3] A.
Hasymy, Sejarah Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia,
(Bandung:Al-Ma’arif, 1981), hlm. 358
[4]Taufik
Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Majelis Ulama Indonesia, 1991),
hlm.39.
[5]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia ( Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2005), hal 12
[6]
Azyumardi Azra, Renaisans, op. Cit., hlm. 34.
[7]
Taufik Abdullah, Op. Cit., hlm.144
[8]
Azyumardi Azra, Renaisans, Op. Cit., hlm. 62
No comments:
Post a Comment