Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidiq
A. Manusia Menurut Pandangan
Islam
Menurut konsepsi Islam, manusia
bukan sekadar "homo erectus-berkaki dua" yang dapat bicara dan
berkuku lebar. Dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia juga terlalu dalam dan
misterius untuk didefinisikan dengan cara sederhana. Al-Qur'an, di samping
menyanjung, juga memandang rendah manusia. Al-Qur'an sangat memuji manusia, dan
juga sangat memperoloknya. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang
lebih unggul daripada langit, bumi dan para malaikat, dan sekaligus menyatakan
bahwa manusia bahkan lebih rendah daripada setan dan binatang buas. Al-Qur'an
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cukup kekuatan untuk
mengendalikan dunia dan memperoleh jasa para malaikat, namun manusia juga sering
kali terpuruk. Manusialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan
yang menentukan nasibnya. Baiklah, kita awali dengan arti positif manusia
sepeiti yang disebutkan dalam Al-Qur'an.
B. MANUSIA
DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI
Sejak awal manusia merupakan makhluk social dimana manusia
akan dan selalu menbutuhkan manusia lainnya dalam menjalani hidup di dunia ini.
Manusia senantiasa menjalin kebersamaan dan komunikasi dalam lingkungan dimana
pun manusia itu berada, dalam wadah kebersamaan, persahabatan, lingkungan
kerja, rukun warga, tetangga dan dalam bentuk lainnya. Dalam interaksinya
manusia pasti mendapat pengaruh dari lingkungannya, tapi diapun dapat
memberikan perbedaan dan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya. Manusia
dilengkapi dengan rasa, perilaku, norma, cita-cita, dan nurani sebagai
karakteristik manusia, dan kepada manusia diturunkan agama agar selain ada
hubungan dengan sesama, juga ada hubungan dengan Tuhan.
1. Manusia menurut psikologi Barat
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang
menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa
kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan
penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan
tri-dimentional organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat
dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal
ini untuk ruhani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk
dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.
Filsafat manusia yang mendasarinya bercorak
anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman
dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut
masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini menyangkut derajat manusia ke
tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa yang unik. Pemilik akal budi
yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang
dianggap baik dan sesuai baginya.
Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran
besar psikologi :
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behavior psychology)
- Psikologi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)
Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang
berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi
dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat
mengenai manusia.
Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori
: aspek biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis
(struktur super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi
kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada
aspek keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas
digambarkan sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya
mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran
manusia sendiri.
Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport,
menurutnya pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan
mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya
perlu adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.
Psikologi Barat lainnya, William James, berpendapat dalam
bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa
manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang
bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap
fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal
dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan
materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya
spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah
James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius
individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik.
Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi
atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan
terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber
nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya
ini.
2. Manusia Menurut Psikologi
Islam
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang
kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam
perspektif psikologi Islam.Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas
dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut
dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi
subtansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs.
Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya
saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh
tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling membutuhkan maka
diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang
dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi
tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari
konsep Ikhwan al-Shafa.
B. Kedudukan Manusia
Untuk mengetahui dasar-dasar humanisme
dalam Islam, kita harus berpaling kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kitab suci
al-Qur’an menegaskan, “Sungguh, telah Kujadikan manusia dalam keadaan/susunan
sebaik-baiknya (ahsan taqwim) (Q 94:4). Demikian, dalam pandangan Islam,
manusia itu merupakan makhluq yang mulia dan paling tinggi derajatnya di antara
sekalian ciptaan Tuhan. Bahkan kitab suci umat Islam itu menegaskan bahwa derajat manusia itu lebih
tinggi dari malaikat, dan manusia diciptakan dengan maksud agar malaikat
bersujd kepadanya dan segala yang ada di bumi berbakti kepadanya”. Al-Qur’an
juga juga menyatakan bahwa manusia dicipta sebagai khalifah (wakil) Tuhan di
atas bumi dan memberinya amanat atau tanggungjawab untuk memelihara
bumi.
Para filosof Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Tufayl, al-Ghazali dan lain-lain, dalam rangka menyelaraskan falsafah
Yunani yang mereka pelajari dengan ajaran Islam, telah berusaha merubah
pemahaman para filosof Yunani mengenai manusia dengan memberinya
dimensi-dimensi spiritual yang lebih luas dan mendasar. Ini tampak dalam
perkataan al-hayawan al-nathiq sebuah kata-kata Arab yang diterjemahkan
dari perkataan Yunani animal rational. Di sini manusia diberi definisi
formal sebagai ‘animal rational’ atau ‘binatang yang berpikir”.
Definisi
ini sekurang-kurangnya mengandung gagasan tentang arti ‘rasional’ sebagaimana
dipahami secara umum, yaitu ‘nalar. Dalam sejarah intelektual di Barat konsep
tentanng ‘rasio’ telah mengalami perubahan sedemikian rupa dalam
perkembangannya, bahkan menjadi penuh dengan kontroversi dan problematic.
Secara bertahap ia dipisahkan dari ‘intelek’ (intelectus), kemampuan
tertinggi manusia untuk membedakan yang salah dan benar, serta untuk mengenal
kebenaran tertinggi. Para filosof Muslim tidak memahami rasio sebagai terpisah
dari apa yang disebut intellectus atau al-`aql. Bagi mereka `aql
merupakan kesatuan organic dari rasio dan intelectus (al-Attas 1980:37).
Dengan cara demikianlah filosof Muslim mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan
al-nathiq. Di sini kata al-nathiq menunjuk pada fakulti batin
manusia berkenaan dengan nalar atau kemampuan berfikir secara rasional dan
intelektual, yaitu ‘merumuskan makna-makna’ (dzu-nuthuq).
Dari
apa yang telah dikemukakan kata-kata al-hayawan al-nathiq itu dapat
diartikan sebagai ‘binatang berbahasa’ sebab bahasa merupakan hasil pemikiran
manusia dan berbahasa dengan baik hanya mungkin dapat dicapai dengan kecerdasan
berpikir. Berbahasa berarti menyampaikan simbol-simbol linguistik ke dalam
suatu pola bermakna. Penyampaian itu hanya dapat dimengerti dengan sarana
kerohanian yang tertinggi yang disebut `aql. Menurut Muhmmad Naquib
al-Attas, kata `aql itu sendiri pada dasarnya bermakna sejenis ‘ikatan’
atau ‘simpul’, sehingga ia bisa diberi arti sebagai ‘atribut batin manusia yang
mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana
kata-kata’. Jadi kemuliaan manusia terutama ditentukan oleh pencapaian akalnya,
serta realisasi dari apa yang dicapai oleh akalnya dalam kehidupan, dan
kearifannya dalam mengarahkan hidupnya menuju kebaikan dan kebenaran. Kata-kata `aql berpadanan dengan kata-kata qalb
(kalbu). Sebagaimana kalbu, yang merupakan alat pencerapan pengertian ruhaniah,
demikian pula halnya dengan akal. Keduanya dengan demikian merupakan substansi
(jawhar) ruhaniah yang dengannya ‘diri rasional’ (al-nafs al-nathiq)
seseorang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan (lihat al-Jurjani 157).
Dalam membuat definisi
yang benar tentang manusia sebagai al-hayawan al-nathiq ialah bila yang
kita maksud dengan al-nathiq (nalar) dalam pendefinisian itu ialah
‘kemampuan untuk memahami pembicaraan dan kesanggupan untuk beranggung jawab
atas perumusan makna – yang melibatkan penilaian, pembedaan, pencirian dan
penjelasan, serta yang berkaitan dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan
dalam suatu pola yang bermakna. Kata-kata makna atau ma`na harus didasarkan
pada arti kata ma’na sebagai konsep dalam ilmu dan falsafah Islam, yaitu
“pengenalan tempat-tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud masing-masing”.
Pengenalan seperti hanya mungkin terjadi bilamana ‘hubungan’ sesuatu dengan
sesuatu yang lain dalam tatanan tersebut telah ‘terjelaskan’ dan ‘terpahamkan’.
Hubungan tersebut menguraikan keteraturan tertentu.
Hakikat manusia, dalam
pengertian ini, ditentukan oleh substansi ruhaniahnya yang berperan mengenal sesuatu secara benar,
yaitu tempat sesuatu dalam tatanan wujudnya masing-masing dan hubungannya
dengan yang lain dalam tatanan wujud yang lain yang membentuk keteraturan.
Obyek-obyek pengenalan yang memiliki keteraturan hubungan satu sama lain itulah
yang merupakan obyek ilmu pengetahuan, yang dikatakan Nabi sebagai modal dan
tangan beliau (sarana menguasai sesuatu),
Pengetahuan atau ilmu
yang benar adalah mengandung kearifan dan keadilan. Keadilan (`adl) di
sini merupakan suatu kondisi harmonis dari benda-benda disebabkan berada di
tempatnya yang benar dan tepat. Sedangkan kearifan (hikmah) adalah ilmu
yang dianugerahkan Tuhan dan menjadikan penerimanya mampu melakukan penilaian
yang benar.
Manusia yang ideal dalam
Islam ialah manusia berilmu yang dapat mengamalkan ilmunya, tahu tempat yang haqq
dan bathil dari obyek-obyek pengetahuan yang dikenalnya, serta mampu
memberi penilaian yang arif dan adil terhadap sesuatu berdasarkan hakikat
sesuatu dan tempatnya yang benar di alam wujud. Haqq juga berarti tugas atau
kewajiban, dan karenanya manusia Muslim yang berilmu memiliki tanggungjawab dan
kewajiban membangun kemanusiaan berdasarkan ajaran Islam.
Selain
itu dalam Islam kehidupan manusia tidak hanya didasarkan atas ilmu yang
diperolehnya, tetapi juga atas moralitas atau akhlaq. Namun moralitas yang di maksud bukan
moralitas yang sederhana dan statis. Apa yang dikatakan Nabi kepada Ali bin Abi
Thalib seperti telah dikutip di awal pembicaraan ini, dapat dijadikan acuan.
Sejalan dengan itu kehidupan manusia dalam Islam mesti diarahkan agar manusia
itu mampu menguasai tingkah laku moralnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
akal dan pemahaman berdasarkan ilmu yang benar, sekaligus penuh rasa syukur
terhadap Penciptanya. Moralitas tidak menyangkut makhluq lain kecuali manusia.
Sebab manusia dicipta dari dua macam substansi yang berbeda berupa jasad dan
jiwa. Yang terakhir merupakan kesadaran Ilahi yang murni, sumber sehala perak
dan laku tubuh. Inilah bagian dari diri manusia yang dibebani tanggung-jawab
atau amanah. Jiwalah yang berbuat Dari dalam dan segala perilaku luar memberi kessasian tentang keadaan jiwa
di dalam.”
C. Sebagai
Khalifah Tuhan
Telah
dikemukakan bahwa manusia terdiri dari roh dan badan, yang dengan demikian
memiliki sifat-sifat ganda yang kemudian menjadi bawaan dalam hidupnya dan sekaligus
menjadi persoalan yang runcing dalam kehidupannya. Sebagai konsekwensinya
manusia juga memperoleh pengetahuan yang bersifat ganda, yaitu pengetahuan
mengenai dunia ini dan pengetahuan berkenaan dunia yang lain.
Pengetahuan pertama, sebagaimana dikemukakan dalam Q 2:31 (surat al-Baqarah)
disebut “pengetahuan nama-nama” (al-asma).
Yang disebut pengetahuan tentang segala sesuatu di alam
dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak menunjuk pada pengetahuan
tentang esensi (dzat) atau tentang hal yang paling dalam (sirr)
dar segala sesuatu – seperti misalnya tentang roh, sebab mengenai yang ini
hanya sedikit manusia memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm
al-asma (pengetahuan nama-nama) ialah mengenai fenomena-fenomena atau
kejadian-kejadian (`arad)
yang dapat diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Ini dapat
ditangkap atau dicerap melalui akal budi (mahsusat dan ma`qulat) yang dengan itu hubungannya
dapay doiketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan kepada
manusia ialah pengetahuan tentang Allah (ma`rifa). Ini kita ketahui
dalam Q 7:172) ketika Tuhan berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku
bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..). Inilah perjanjian pertama yang mengikat
manusia pada Tuhan. Perjanjian itu diikrarkan sebelum manusia diturunkan ke
dunia dalam bentuknya sebagai makhluq jasmani dan rohani. Dari sini kita
mengetahui bahwa pengetahuan itu ditanamkan Tuhan dalam roh, kalbu dan jiwa
manusia, bukan dalam badannya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu ialah bahwa
dalam hidupnya manusia akan tetap mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai sasaran
penyembahannya, bukan yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai al-din (agama),
yaitu sebagai sesuatu yang mengikat hubungan manusia dengan Tuhannya yang esa,
dan ikatan itu dapat berjalan terus apabila manusia menunjukkan kepatuhannya (aslama)
kepada perintah dan larangan-Nya.
Dengan demikian din dan aslama, menurut para
ulama, bersifat saling melengkapi dalam diri manusia dan menjadi sifat hakiki
dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati manusia ialah
melaksanakan ibadah atau pengabdian kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajibannya
adalah ketaatan kepada-Nya, sebab itulah yang sesuai dengan fitrah manusia.
Yang bertentangan dengan itu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi manusia juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan).
Karena itu ia disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan
berjanji akan mematuhi-Nya, karena terlena oleh kehidupan dunia maka ia menjadi
lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya.
Kelupaan atau kealaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah
agama, dan sifat ini sangat tercela serta cenderung menjadikan manusia
tenggelam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl).
Sekalipun demikian manusia dianugerahi perlengkapan rohani untuk mengingat
kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu.
Perlengkapan itu ialah akal pikiran dan kecerdasannya untuk membedakan yang
salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada manusia untuk memilihnya,
dengan konsekwensi yang mesti ditanggungnya sendiri pula.
Firman Tuhan dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa
manusia telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi dan kepadanya
dibebankan amanat, sebuah tanggungjawab yang berat untuk mengetur dan
memelihara kehidupan di dunia. Mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan
kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi mengatur sesuai
dengan kehendak Allah dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah menunut
pertanggungjawaban untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam dan
seisinya, sebagaimana juga terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak
hanya mencakup pengertian sosio-politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan
di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih mendasar lagi ialah, dalam konsep
itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini
mengandung arti “pengaturan, pemerintahan, pengendalian dan pemeiharaan diri
manusia oleh dirinya sendiri”,
Dalam mengatur dan mengendalikan hidupnya itu manusia
tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya: Tabiat atau bawan sifatnya yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs
al-nathiqah) dan yang lebih rendak ialah jiwa hewani (al-nafs
al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang
dituju ialah jiwa rasional manusia bukan jiwa hewaninya. Agar manusia memenuhi
perjanjiannya dengan Allah dan sealu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya
itu, manusia harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan taat
menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan secara efektif jiwa rasional atas
jiwa hewani itulah yang sebenarnya dinamakan din (agama); sedangkan yang
dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani
terhadap jiwa rasional. Oleh karema itu perilaku religius dalam Islam dikaitkan
dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan
diri dan perjanjiannya dengan Allah, dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa)
dan kemampuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri dan sesamanya,
serta terhadap alam sekitarnya.
Mengenai adil atau keadilan, cerdik cendikia Muslim
senantiasa merujuk kepada al-Qur;an surat al-Nahl 90: “Innal`Lahu ya`muru bi`l-`adl wa`l-ihsan” (Sesunggunya Allah
menyuruh berbuat adil dan ihsan.” Seorang cendikiawan Melayu dari Aceh akhir
abad ke-16 Bukhari al-Jauhari dalam kitabnya Taj al-Salatin, mengartikan bahwa adil ialah benar dalam pemikiran,
pekerjaan, perbuatan, dan perkataan. Sedangkann ihsan diartikan sebagai
kebajikan dalam berpikir, melahirkan pengetahuan, bekerja dan berkata-kata.
Dikatakan misalnya bahwa seorang pemimpin yang adil adalah rahmat Tuhan yang
tak ternilai harganya dan tanda pemimpin yang adil ialah berperikemanusiaan dan
beradab, yaitu berpikir dan berpengetahuan benar tentang rakyatnya, serta
berbuat benar dan berkata benar kepada rakyatnya. Semua itu dia lakukan karena
mencintai rakyatnya.
TERIMA KASIH ATAS ILMUNYA
ReplyDeletehttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Firman_effendy.wordpress.com