Tuesday 15 January 2013

Islam dan Humanisme



Oleh : Abi Abdul Jabbar Sidiq

A.        Manusia Menurut Pandangan Islam
Menurut konsepsi Islam, manusia bukan sekadar "homo erectus-berkaki dua" yang dapat bicara dan berkuku lebar. Dari sudut pandang Al-Qur'an, manusia juga terlalu dalam dan misterius untuk didefinisikan dengan cara sederhana. Al-Qur'an, di samping menyanjung, juga memandang rendah manusia. Al-Qur'an sangat memuji manusia, dan juga sangat memperoloknya. Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk yang lebih unggul daripada langit, bumi dan para malaikat, dan sekaligus menyatakan bahwa manusia bahkan lebih rendah daripada setan dan binatang buas. Al-Qur'an berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki cukup kekuatan untuk mengendalikan dunia dan memperoleh jasa para malaikat, namun manusia juga sering kali terpuruk. Manusialah yang mengambil keputusan tentang dirinya sendiri dan yang menentukan nasibnya. Baiklah, kita awali dengan arti positif manusia sepeiti yang disebutkan dalam Al-Qur'an.


B.        MANUSIA DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI
Sejak awal manusia merupakan makhluk social dimana manusia akan dan selalu menbutuhkan manusia lainnya dalam menjalani hidup di dunia ini. Manusia senantiasa menjalin kebersamaan dan komunikasi dalam lingkungan dimana pun manusia itu berada, dalam wadah kebersamaan, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga, tetangga dan dalam bentuk lainnya. Dalam interaksinya manusia pasti mendapat pengaruh dari lingkungannya, tapi diapun dapat memberikan perbedaan dan pengaruh kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi dengan rasa, perilaku, norma, cita-cita, dan nurani sebagai karakteristik manusia, dan kepada manusia diturunkan agama agar selain ada hubungan dengan sesama, juga ada hubungan dengan Tuhan.
1.        Manusia menurut psikologi Barat
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan tri-dimentional organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini untuk ruhani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.
Filsafat manusia yang mendasarinya bercorak anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini menyangkut derajat manusia ke tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa yang unik. Pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.
Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar psikologi :
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behavior psychology)
- Psikologi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)
Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.
Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori : aspek biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.
Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport, menurutnya pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya perlu adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.
Psikologi Barat lainnya, William James, berpendapat dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik. Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.
2.         Manusia Menurut Psikologi Islam
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam perspektif psikologi Islam.Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs.
Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling membutuhkan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.
B.        Kedudukan Manusia
            Untuk mengetahui dasar-dasar humanisme dalam Islam, kita harus berpaling kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kitab suci al-Qur’an menegaskan, “Sungguh, telah Kujadikan manusia dalam keadaan/susunan sebaik-baiknya (ahsan taqwim) (Q 94:4). Demikian, dalam pandangan Islam, manusia itu merupakan makhluq yang mulia dan paling tinggi derajatnya di antara sekalian ciptaan Tuhan. Bahkan kitab suci umat Islam itu  menegaskan bahwa derajat manusia itu lebih tinggi dari malaikat, dan manusia diciptakan dengan maksud agar malaikat bersujd kepadanya dan segala yang ada di bumi berbakti kepadanya”. Al-Qur’an juga juga menyatakan bahwa manusia dicipta sebagai khalifah (wakil) Tuhan di atas bumi dan memberinya amanat atau tanggungjawab untuk memelihara bumi.
            Para filosof Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Tufayl, al-Ghazali dan lain-lain, dalam rangka menyelaraskan falsafah Yunani yang mereka pelajari dengan ajaran Islam, telah berusaha merubah pemahaman para filosof Yunani mengenai manusia dengan memberinya dimensi-dimensi spiritual yang lebih luas dan mendasar. Ini tampak dalam perkataan al-hayawan al-nathiq sebuah kata-kata Arab yang diterjemahkan dari perkataan Yunani animal rational. Di sini manusia diberi definisi formal sebagai ‘animal rational’ atau ‘binatang yang berpikir”.
            Definisi ini sekurang-kurangnya mengandung gagasan tentang arti ‘rasional’ sebagaimana dipahami secara umum, yaitu ‘nalar. Dalam sejarah intelektual di Barat konsep tentanng ‘rasio’ telah mengalami perubahan sedemikian rupa dalam perkembangannya, bahkan menjadi penuh dengan kontroversi dan problematic. Secara bertahap ia dipisahkan dari ‘intelek’ (intelectus), kemampuan tertinggi manusia untuk membedakan yang salah dan benar, serta untuk mengenal kebenaran tertinggi. Para filosof Muslim tidak memahami rasio sebagai terpisah dari apa yang disebut intellectus atau al-`aql. Bagi mereka `aql merupakan kesatuan organic dari rasio dan intelectus (al-Attas 1980:37). Dengan cara demikianlah filosof Muslim mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan al-nathiq. Di sini kata al-nathiq menunjuk pada fakulti batin manusia berkenaan dengan nalar atau kemampuan berfikir secara rasional dan intelektual, yaitu ‘merumuskan makna-makna’ (dzu-nuthuq).
           
            Dari apa yang telah dikemukakan kata-kata al-hayawan al-nathiq itu dapat diartikan sebagai ‘binatang berbahasa’ sebab bahasa merupakan hasil pemikiran manusia dan berbahasa dengan baik hanya mungkin dapat dicapai dengan kecerdasan berpikir. Berbahasa berarti menyampaikan simbol-simbol linguistik ke dalam suatu pola bermakna. Penyampaian itu hanya dapat dimengerti dengan sarana kerohanian yang tertinggi yang disebut `aql. Menurut Muhmmad Naquib al-Attas, kata `aql itu sendiri pada dasarnya bermakna sejenis ‘ikatan’ atau ‘simpul’, sehingga ia bisa diberi arti sebagai ‘atribut batin manusia yang mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata’. Jadi kemuliaan manusia terutama ditentukan oleh pencapaian akalnya, serta realisasi dari apa yang dicapai oleh akalnya dalam kehidupan, dan kearifannya dalam mengarahkan hidupnya menuju kebaikan dan kebenaran.  Kata-kata `aql berpadanan dengan kata-kata qalb (kalbu). Sebagaimana kalbu, yang merupakan alat pencerapan pengertian ruhaniah, demikian pula halnya dengan akal. Keduanya dengan demikian merupakan substansi (jawhar) ruhaniah yang dengannya ‘diri rasional’ (al-nafs al-nathiq) seseorang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan (lihat al-Jurjani 157).

Dalam membuat definisi yang benar tentang manusia sebagai al-hayawan al-nathiq ialah bila yang kita maksud dengan al-nathiq (nalar) dalam pendefinisian itu ialah ‘kemampuan untuk memahami pembicaraan dan kesanggupan untuk beranggung jawab atas perumusan makna – yang melibatkan penilaian, pembedaan, pencirian dan penjelasan, serta yang berkaitan dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan dalam suatu pola yang bermakna. Kata-kata makna atau ma`na harus didasarkan pada arti kata ma’na sebagai konsep dalam ilmu dan falsafah Islam, yaitu “pengenalan tempat-tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud masing-masing”. Pengenalan seperti hanya mungkin terjadi bilamana ‘hubungan’ sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam tatanan tersebut telah ‘terjelaskan’ dan ‘terpahamkan’. Hubungan tersebut menguraikan keteraturan tertentu.
Hakikat manusia, dalam pengertian ini, ditentukan oleh substansi ruhaniahnya  yang berperan mengenal sesuatu secara benar, yaitu tempat sesuatu dalam tatanan wujudnya masing-masing dan hubungannya dengan yang lain dalam tatanan wujud yang lain yang membentuk keteraturan. Obyek-obyek pengenalan yang memiliki keteraturan hubungan satu sama lain itulah yang merupakan obyek ilmu pengetahuan, yang dikatakan Nabi sebagai modal dan tangan beliau (sarana menguasai sesuatu),
Pengetahuan atau ilmu yang benar adalah mengandung kearifan dan keadilan. Keadilan (`adl) di sini merupakan suatu kondisi harmonis dari benda-benda disebabkan berada di tempatnya yang benar dan tepat. Sedangkan kearifan (hikmah) adalah ilmu yang dianugerahkan Tuhan dan menjadikan penerimanya mampu melakukan penilaian yang benar.

Manusia yang ideal dalam Islam ialah manusia berilmu yang dapat mengamalkan ilmunya, tahu tempat yang haqq dan bathil dari obyek-obyek pengetahuan yang dikenalnya, serta mampu memberi penilaian yang arif dan adil terhadap sesuatu berdasarkan hakikat sesuatu dan tempatnya yang benar di alam wujud. Haqq juga berarti tugas atau kewajiban, dan karenanya manusia Muslim yang berilmu memiliki tanggungjawab dan kewajiban membangun kemanusiaan berdasarkan ajaran Islam.

            Selain itu dalam Islam kehidupan manusia tidak hanya didasarkan atas ilmu yang diperolehnya, tetapi juga atas moralitas atau akhlaq.  Namun moralitas yang di maksud bukan moralitas yang sederhana dan statis. Apa yang dikatakan Nabi kepada Ali bin Abi Thalib seperti telah dikutip di awal pembicaraan ini, dapat dijadikan acuan. Sejalan dengan itu kehidupan manusia dalam Islam mesti diarahkan agar manusia itu mampu menguasai tingkah laku moralnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan akal dan pemahaman berdasarkan ilmu yang benar, sekaligus penuh rasa syukur terhadap Penciptanya. Moralitas tidak menyangkut makhluq lain kecuali manusia. Sebab manusia dicipta dari dua macam substansi yang berbeda berupa jasad dan jiwa. Yang terakhir merupakan kesadaran Ilahi yang murni, sumber sehala perak dan laku tubuh. Inilah bagian dari diri manusia yang dibebani tanggung-jawab atau amanah. Jiwalah yang berbuat Dari dalam dan segala perilaku  luar memberi kessasian tentang keadaan jiwa di dalam.”

C.        Sebagai Khalifah Tuhan
            Telah dikemukakan bahwa manusia terdiri dari roh dan badan, yang dengan demikian memiliki sifat-sifat ganda yang kemudian menjadi bawaan dalam hidupnya dan sekaligus menjadi persoalan yang runcing dalam kehidupannya. Sebagai konsekwensinya manusia juga memperoleh pengetahuan yang bersifat ganda, yaitu pengetahuan mengenai dunia ini dan pengetahuan berkenaan dunia yang lain.

Pengetahuan pertama, sebagaimana dikemukakan dalam Q 2:31 (surat al-Baqarah) disebut  “pengetahuan nama-nama” (al-asma). Yang disebut pengetahuan tentang segala sesuatu di alam dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak menunjuk pada pengetahuan tentang esensi (dzat) atau tentang hal yang paling dalam (sirr) dar segala sesuatu – seperti misalnya tentang roh, sebab mengenai yang ini hanya sedikit manusia memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm al-asma (pengetahuan nama-nama) ialah mengenai fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian (`arad) yang dapat diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Ini dapat ditangkap atau dicerap melalui akal budi (mahsusat dan  ma`qulat) yang dengan itu hubungannya dapay doiketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan kepada manusia ialah pengetahuan tentang Allah (ma`rifa). Ini kita ketahui dalam Q 7:172) ketika Tuhan berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..).  Inilah perjanjian pertama yang mengikat manusia pada Tuhan. Perjanjian itu diikrarkan sebelum manusia diturunkan ke dunia dalam bentuknya sebagai makhluq jasmani dan rohani. Dari sini kita mengetahui bahwa pengetahuan itu ditanamkan Tuhan dalam roh, kalbu dan jiwa manusia, bukan dalam badannya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu ialah bahwa dalam hidupnya manusia akan tetap mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai sasaran penyembahannya, bukan yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai al-din (agama), yaitu sebagai sesuatu yang mengikat hubungan manusia dengan Tuhannya yang esa, dan ikatan itu dapat berjalan terus apabila manusia menunjukkan kepatuhannya (aslama) kepada perintah dan larangan-Nya.
Dengan demikian din dan aslama, menurut para ulama, bersifat saling melengkapi dalam diri manusia dan menjadi sifat hakiki dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati manusia ialah melaksanakan ibadah atau pengabdian kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajibannya adalah ketaatan kepada-Nya, sebab itulah yang sesuai dengan fitrah manusia. Yang bertentangan dengan itu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi manusia juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan). Karena itu ia disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan berjanji akan mematuhi-Nya, karena terlena oleh kehidupan dunia maka ia menjadi lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya. Kelupaan atau kealaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah agama, dan sifat ini sangat tercela serta cenderung menjadikan manusia tenggelam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl). Sekalipun demikian manusia dianugerahi perlengkapan rohani untuk mengingat kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu. Perlengkapan itu ialah akal pikiran dan kecerdasannya untuk membedakan yang salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada manusia untuk memilihnya, dengan konsekwensi yang mesti ditanggungnya sendiri pula.
Firman Tuhan dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa manusia telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi dan kepadanya dibebankan amanat, sebuah tanggungjawab yang berat untuk mengetur dan memelihara kehidupan di dunia. Mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi mengatur sesuai dengan kehendak Allah dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah menunut pertanggungjawaban untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam dan seisinya, sebagaimana juga terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak hanya mencakup pengertian sosio-politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih mendasar lagi ialah, dalam konsep itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini mengandung arti “pengaturan, pemerintahan, pengendalian dan pemeiharaan diri manusia oleh dirinya sendiri”, 
Dalam mengatur dan mengendalikan hidupnya itu manusia tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya: Tabiat atau bawan sifatnya  yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) dan yang lebih rendak ialah jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang dituju ialah jiwa rasional manusia bukan jiwa hewaninya. Agar manusia memenuhi perjanjiannya dengan Allah dan sealu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya itu, manusia harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan taat menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan secara efektif jiwa rasional atas jiwa hewani itulah yang sebenarnya dinamakan din (agama); sedangkan yang dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani terhadap jiwa rasional. Oleh karema itu perilaku religius dalam Islam dikaitkan dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan diri dan perjanjiannya dengan Allah, dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa) dan kemampuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri dan sesamanya, serta terhadap alam sekitarnya. 
            Mengenai adil atau keadilan, cerdik cendikia Muslim senantiasa merujuk kepada al-Qur;an surat al-Nahl 90: “Innal`Lahu ya`muru bi`l-`adl wa`l-ihsan” (Sesunggunya Allah menyuruh berbuat adil dan ihsan.” Seorang cendikiawan Melayu dari Aceh akhir abad ke-16 Bukhari al-Jauhari dalam kitabnya Taj al-Salatin, mengartikan bahwa adil ialah benar dalam pemikiran, pekerjaan, perbuatan, dan perkataan. Sedangkann ihsan diartikan sebagai kebajikan dalam berpikir, melahirkan pengetahuan, bekerja dan berkata-kata. Dikatakan misalnya bahwa seorang pemimpin yang adil adalah rahmat Tuhan yang tak ternilai harganya dan tanda pemimpin yang adil ialah berperikemanusiaan dan beradab, yaitu berpikir dan berpengetahuan benar tentang rakyatnya, serta berbuat benar dan berkata benar kepada rakyatnya. Semua itu dia lakukan karena mencintai rakyatnya.
           


1 comment:

  1. TERIMA KASIH ATAS ILMUNYA

    http://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Firman_effendy.wordpress.com

    ReplyDelete

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme