Thursday 17 January 2013

Muhammad Iqbal



A.   Biografi Singkat Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal memiliki nama lengkap Sir Allama Muhammad Iqbal (untuk selanjutnya ditulis Iqbal), dia dilahirkan di Sialkot-India (sebuah kota tua diperbatasan Punjab_wilayah Pakistan_ Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877 M/ 2 Dzulqo’dah 1294 H (Mukti Ali: 1998). Dan wafat pada tanggal 21 April 1938 M. Iqbal terlahir dari sebuah keluarga miskin namun taat beribadah.
Ini didasarkan pada kakek, ayah dan ibunya Iqbal. Kakeknya, Rafiq adalah seorang yang taat, dia berasal dari Kashmir dan berimigrasi ke Sialkot- India. Dan ayahnya, bernama Syeikh Noor Muhammad adalah seorang sufi dan dia dikenal sebagai orang yang saleh dan selalu mementingkan nilai-nilai agama. Sehingga sedari kecil Iqbal sudah mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri. Kemudian ibunya, bernama imam bibi juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Tidak disangsikan pada perjalanannya Iqbal kemudian menjadi sosok yang berpengaruh bagi dunia islam.

Walaupun berasal dari keluarga yang miskin, itu bukan menjadi penghalang bagi Iqbal untuk menimba ilmu formal. Berkat kecerdasannya, ia mendapat beasisiwa di Scottish Mission School – Sialkot, sekolah formal yang menjadi awal pendidikan Iqbal. Di sana ia dididik oleh Mir Hasan, seorang guru yang ahli dalam bahasa Arab dan Persia. Kemudian melanjutkan sekolahnya di Government College (sekolah tinggi pemerintah) di Lahore. Dengan dibimbing oleh seorang orientalis terkenal yaitu Sir Thomas Arnold, pada tahun 1897 Iqbal mendapat gelar BA dan mendapat gelar Master pada bidang filsafat  tahun 1899. Dalam menimba ilmu di Government College ini Iqbal menerima beasisiwa dan meraih dua medali emas karena prestasinya dibidang bahasa Arab dan Inggris (Mukti Ali:1998).
Dengan kecerdasannya, kemudian dia diangkat menjadi pengajar di Government College, dan disini awal mulainya Iqbal menulis buku-buku dan syair-syairnya. Namun ini tidak sampai lama, karena gurunya Tomas Arnold menyuruh Iqbal untuk melanjutkan pendidikannya di Eropa. Pada tahun 1905 akhirnya Iqbal melanjutkan studinya di Trinity College, Universitas Cambridge, London serta mengikuti kursus advokasi (pengacara) di Lincoln Inn. Di tempat studinya ini ia banyak belajar pada James Wird dan JE. Mc Teggart. Dia juga sering diskusi dengan pemikir-pemikir lain dan sering pula mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich dan berhasil mendapatkan gelar Doktor dalam bidang filsafat pada tahun 1907 dengan disertasi “The Development of Metaphysics in Persia”, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya balik ke London untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of Political Science (nicohendrick.wordpress.com/2009).
Menurut M Syarif dalam buku yang diterjemahkan oleh Yusuf Jamil, dia menyatakan, bahwa hal penting yang mempengaruhi pemikiran Iqbal ketika studi di Eropa ialah tren pemikiran yang berkembang di Eropa saat itu. Diantaranya yaitu pemikiran dari tokoh filsafat Jerman, Nietzsche (1844-1990 M), yakni pemikiran tentang filsafat kehendak pada kekuasaan. Gagasan Nietzsche tentang manusia super (super man) ini mendapat banyak perhatian dari para pemikir Jerman yang lain, seperti Stefen George dan Richard Wagner. Selain itu, di Perancis, masyarakatnya dipengaruhi oleh filsafat Henri Bergson (1859-1941) pemikirannya mengenai elan vital, gerak dan perubahan. Sementara itu, di Inggris, Browning menulis syair-syair yang penuh kekuatan dan Carlyle menulis karya yang memuji pahlawan dunia. Bahkan dalam karya Llyod Morgan dan McDougall menganggap bahwa tenaga kepahlawanan sebagai essensi kehidupan dan dorongan perasaan ke-aku-an (egohood) sebagai inti kepribadian manusia. Dari munculnya pemikiran filsafat barat yang muncul secara simultan tersebut memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Iqbal kemudian.
Ketika di London untuk yang kedua kalinya, Iqbal ditunjuk sebagai guru besar bahasa dan sastra Arab di Universitas London, mengantikan gurunya Thomas Arnold. Juga diserahi jabatan ketua jurusan bidang filsafat dan kesusastraan Inggris disamping mengisi ceramah-ceramah keislaman. Kegiatan ceramah pertama kalinya diadakan di Caxton Hall, ceramahnya di siarkan media massa Inggris terkemuka. Namun itu tidak sampai lama, karena Iqbal lebih memilih pulang ke Lahore, disana ia membuka praktek pengacara juga sebagai guru besar di Government College, Lahore. Akan tetapi karena panggilan jiwa seninya yang begitu kuat, itu  membuat Iqbal akhirnya keluar dari profesi tersebut, dia lebih memilih menjadi seorang penyair yang kemudian mengantarkannya ke puncak popularitas sebagai seorang pemikir yang mendambakan kebangkitan Islam. Dia pun menolak ketika sempat ada tawaran menjadi guru besar sejarah oleh Universitas Aligarh pada tahun 1909.
Pada akhir tahun 1926, Iqbal masuk dalam dunia politik ketika dipilih menjadi ketua DPR Punjab. Bahkan, pada tahun 1930, ia ditunjuk sebagai presiden Liga Sidang Muslim yang berlangsung di Allahabad yang menelorkan gagasan untuk mendirikan negara Pakistan sebagai alternatif atas persoalan antara masyarakat muslim dan Hindu. Meski mendapat reaksi keras dari para politisi, gagasan tersebut segera mendapat dukungan dari berbagai kalangan, sehingga Iqbal diundang untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar di London, tahun 1932, juga konferensi yang sama pada tahun berikutnya, guna membicarakan gagasan tersebut. Tahun 1935 ia diangkat sebagai ketua Liga Muslim cabang Punjab dan terus berkomunikasi dengan Ali Jinnah. Namun, pada tahun yang sama, ia mulai terserang penyakit, dan semakin parah sampai mengantarkannya pada kematian, yaitu pada 21 april 1938 (nicohendrick.wordpress.com/2009).
Dari perjalanan hidupnya yang sangat berharga, Iqbal banyak meninggalkan karya-karya tulisnya, baik dari yang berbentuk prosa, puisi, jawaban atas tanggapan orang  maupun kata pengantar bagi karya orang lain. Dari semua karyanya, Iqbal lebih banyak menggunakan bahasa Persi dalam tulisannya, ini dikarenakan bahasa Persi saat itu menjadi bahasa yang dominan digunakan oleh ummat Islam dan dipakai oleh masyarakat terpelajar. Selain itu, semua itu ia maksudkan agar karyanya dapat diakses oleh semua wilayah dunia Islam, tidak terbatas hanya di India. Diantara karya tulisnya yaitu The Development of Metaphysics in Persia (disertasi, terbit di London,1908), Asra- l Khudi (tentang proses mencapai insane kamil), Letters and Writtings of Iqbal (Karachi, kumpulan surat dan artikel Iqbal) dan masih banyak karya-karya tulisnya yang lain.
Kutipan isi dari karya tulis yang telah Iqbal muat dalam karyanya yaitu Asra-l Khudi seperti oleh Dr. Mohammad Natsir dalam bukunya Kapita Selekta disebutkan sebagai berikut:
            Khudi ko kar bulitna keh har taqdir se pahley
            Khuda bandey se khud puchhey bata teri raza kia hai.
            “Binalah pribadimu demikian hebatnya sehingga sebelum Tuhan menentukan takdirmu
Dia sendiri akan mengarahkan tanya padamu: Apakah yang kau kehendaki yang sebenarnya”

B.     Gagasan dan Pemikiran Muhammad Iqbal

1.      Metafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu  ia juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego, yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, yaitu Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat). Ketika Iqbal meramu postulat, “Saya berbuat, karena itu saya ada (I act, therefore I exist)”, membedakannya dengan pemikir Muslim terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan “asketisme di sana “.
Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan “kesadaran mistis” dan tentunya sangat bertentangan dengan “kesadaran profetik”. Kesadaran mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif  menjadi tidak terlihat dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah aktivitas Ilahi.
Jadi, konsep wahdah al-wujud dalam perspektif Iqbal adalah pengidentifikasian keinginan pribadi dengan kehendak Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia pada posisi demikian menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi (nicohendrick.wordpress.com/2009).

2.      Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal— harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap)8. Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam.
Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan.
Kedua, berkaitan dengan pertama, kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’ (Azzam, 1985, 141). Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut  kematian seni Timur yang meniru seni Barat.

Di negeri ini berjangkit kematian imaginasi
Karena seni asing dan mengikuti Barat
Kulihat awan kelabu dan Behzad masaku
Merombak dunia Timur yang kemilau nan abadi
O, para seni di Timur
Usai sudah kreasi masa kini dan masa lalu
Berapa banyak kreasi tercipta
Tunjukkan pada kami pribadi
Pada semua bidang membumbung tinggi

Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman. Dengan pernyataan seperti ini, mengikuti pendapat Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, (1) bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis, (2) bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif. (3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman, (4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni –betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional.

3.      Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabi buta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat: “Akan tetapi terpulanglah kepada kalian dan peradaban tanpa agama yang menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-Hak. Sesungguhnya malapetaka ini telah menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram Mekah, dimana hati manusia menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan cahaya hati atau menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah siang yang terang benderang dengan meninggalkan insan tanpa roh dan tanpa nilai apa-apa lagi”.
“Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju di Eropa, namun lautan kegelapan memenuhi kehidupan mereka. Sesungguhnya ilmu pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan yang berjalan di Eropa tidak lebih dari ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah mengorbankan darah rakyat dan jauh sekali dari arti nilai kemanusiaan dan keadilan. Apa yang terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di negeri mereka. Inilah akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada undang-undang Samawi ciptaan Ilahi. Inilah dia negeri-negeri yang hanya berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi modern. Dan sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah memusnahkan hati-hati manusia dan membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna kemanusiaan yang mulia”.
Selanjutnya kata Iqbal, gerakan perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalisasi yang berlangsung dikalangan peradaban Barat tidak hanya membawa bahaya bagi bangsa mereka sendiri. Perkembangan teknologi informasi di era modern telah membawa kerusakan ini merasuki negeri-negeri Islam, yang merusak kejiwaan dan spritual umat Islam. Bagaimanapun, apa yang dikhawatirkan ialah munculnya gejala kebekuan dan kelumpuhan di kalangan umat Islam itu sendiri.
Walaupun di satu sisi peradaban Barat dilihat secara positif dari aspek ilmiah, tetapi bagi Iqbal, beliau merasakan bahwa di dalam jiwa bangsa Barat tidak ada lagi wujud kasih sayang sesama umat manusia,  walaupun mereka sering mendengungkan nilai-nilai humanisme. Dan tidak ada lagi kepercayaan Barat kepada kebebasan, keadilan atau persamaan. Apa yang terjadi hanyalah bersifat teori, bukannya praktek.
Dalam pengulasan lebih lanjut, Iqbal secara berani mengeluarkan pernyataan: “Perkembangan Eropa itu sebenarnya tidak pernah memasuki kehidupan kemasyarakatan dalam bentuk yang amali dan hidup. Apa yang mereka slogankan dengan konsep demokrasi hanyalah pembahasan ilmiah, tetapi apa yang sebenarnya adalah penimbunan kekayaan golongan hartawan di atas air mata golongan fakir miskin”.Justru bagi Iqbal, hanya Islam yang mampu menyelesaikan semua permasalahan manusia. Ini karena kaum Muslimin memiliki pemikiran dan akidah yang kukuh dan sempurna – diasaskan atas petunjuk wahyu (al-Quran; S 3 : 110). Pemikiran dan pegangan yang kukuh ini dapat menjadi solusi kepada pelbagai problem kehidupan karena mempunyai kekuatan sama ada dari segi rohani maupun jasmani.
Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu menangani semua permasalahan hidup manusia disebabkan sistem hidupnya yang bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan. Dalam waktu yang sama Islam juga mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam kelompok sosialnya (al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu,  ia mendorong manusia untuk melaksanakan ajaran Islam demi tercapainya tujuan tersebut.
Dunia yang selama ini ditafsirkan dari pendekatan materialisme adalah dunia yang buta dan kosong. Apa yang bergerak selama ini adalah gerakan tanpa nilai dan tanpa memiliki tujuan apa-apa. Berbeda sekali dengan pendekatan al-Quran terhadap kejadian alam, di mana dunia dan alam menurut ajaran Islam adalah berasaskan kepada kebenaran dan keadilan (al-Quran; S 4 : 135, S 6 : 153 dan S 16 : 90).
Sesungguhnya, gagasan pemikiran yang diberikan oleh Iqbal telah memberikan harapan yang baik kepada Islam di masa depan

1 comment:

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme